Setumpuk Pekerjaan Rumah Menanti Anggota Baru Dewan Energi Nasional

123RF.com/Pop Nukoonrat
DPR telah memilih delapan anggota baru Dewan Energi Nasional atau DEN.
13/11/2020, 18.14 WIB

Dalam jangka menengah, peran Dewan dibutuhkan untuk memantapkan dan memperkokoh keandalan dan kemandirian energi dalam negeri di tengah dunia menuju bahan bakar berkelanjutan. "Transisi menuju ke arah itu harus dikawal secara ketat masing-masing sektor," kata dia.

Pekerjaan rumah anggota DEN saat ini sangat banyak. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebut tugas itu termasuk di sektor migas, mineral dan batu bara (minerba), kelistrikan dan juga energi terbarukan.

Dewan Energi Nasional juga perlu melakukan sosialisasi terkait fungsinya. Sejauh ini kebijakannya tidak terlihat publik. “RUEN harus direvisi atau ditambah mengikuti perkembangan zaman,” ujarnya.

Komitmen RI Turunkan Emisi Karbon Dipertanyakan

Semangat transisi energi di Indonesia masih rendah. Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya berpendapat hal ini terlihat dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk aktivitas pembangunan rendah karbon (LCD) selama 2018 hingga 2020 yang minim.

Alokasinya pada 2018 sebear Rp 34,5 triliun atau 1,6% dari APBN. Lalu, dua tahun berikutnya menurun masing-masing menjadi Rp 23,8 triliun dan Rp 23,4 triliun.

Negara ini masih sangat bergantung pada bahan bakar batu bara. Porsinya pada bauran energi primer pembangkit listrik mencapai 62,2% pada 2019. Sementara, pemakaian energi terbarukan masih jalan di tempat.

Hal ini membuat Indonesia kalah dibandingkan Vietnam. Dalam setahun, negara itu dapat meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) hingga 20 kali lipat. “Pandemi Covid-19 seharusnya tak semata menjadi momen pemulihan ekonomi tapi juga transformasi energi,” kata Berly.

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta membantah pandangan itu. Komitmen pemanfaatan energi baru terbarukan telah tertuang dalam dua regulasi. Pertama, Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang pelaksanaan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Kedua, Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024.

Soal batu bara, pemerintah berkomitmen melakukan proyek hilirisasi dan gasifikasi. “Ini bagian mengurangi emisi karbon,” ucapnya.

 Komitmen ini pun dipertanyakan oleh dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada Poppy Ismalina. Pasalnya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang menghapus pasal-pasal penting Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup. “Ini malapetakan konservasi alam,” katanya.

Upaya pengurangan emisi karbon pun terancam mundur. Soal analisis dampak lingkungan atau Amdal banyak perubahan yang tidak sesuai lagi dengan semangat konservasi hutan. UU Cipta Kerja menghapus Komisi Penilai Amdal dan penyusunannya hanya melibatkan masyarakat terdampak. Pengawasan dan sanksi administrasi seluruhnya ada di tangan pemerintah pusat.

Poppy mengatakan omnibus law itu memfasilitasi pemanfaatan hutan lindung untuk usaha karena memberi kemudahan izin. Pemerintah juga menghidupkan kembali aturan pengusaan hak guna usaha atau HGU selama 90 tahun.

Langkah pemerintah juga bertolak belakang dengan upaya pengurangan emisi karbon karena masih bergantung dengan komoditas minyak sawit dan batu bara. Padahal, negara ini merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca dunia. Polusi itu terutama berasal dari deforestasi, kebakaran besar lahan gambut untuk perkebunan sawit, dan pemakaian bahan bakar fosil.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan