Masuki Era Mobil Listrik, PLN akan Bangun 60 Stasiun Pengisian Listrik

ANTARA FOTO/Didik Suhartono/aww.
Komisari PT PLN (Persero) Dudy Purwagandhi mengisi daya mobil listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Jalan Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (26/12/2020).
Editor: Yuliawati
4/1/2021, 15.41 WIB

PT PLN bersiap menghadapi era mobil listrik dengan menyiapkan infrastruktur pendukungnya. PLN menargetkan membangun 60 Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum atau SPKLU pada 2021 dengan investasi sekitar Rp 400 juta per unit.

Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan PLN tak hanya membangun charging station untuk umum, PLN juga menyiapkan alat pengisian daya di rumah rumah pelanggan.  Perusahaan setrum pelat merah ini juga bakal memberikan diskon 30% bagi pelanggan yang mengisi daya kendaraan listrik di malam hari.
 
"Karena apa, pembangkit kami kalau siang hari itu kerja keras. Tetapi kalau malam hari pembangkit kami nganggur. Untuk itu di malam hari kami berikan diskon," ujar Darmawan dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Senin (4/1).

Stasiun pengisian kendaraan untuk umum nantinya akan dibangun menjadi satu sarana terpadu. Selain untuk tempat pengisian daya, SPKLU akan didesain khusus sehingga membuat nyaman, seperti dalam bentuk kafe dengan menyediakan jaringan internet.

"Ini akan menjadi lifestyle di masa mendatang. Mobil BBM menjadi suatu tren masa lalu, banyak negara di Eropa di tahun 2035 tidak ada lagi mobil BBM," ujar Darmawan.

Tren ke depan masyarakat akan semakin peduli dengan lingkungan. Penggunaan mobil listrik sudah teruji ramah lingkungan karena penggunaannya menghasilkan separuh dari emisi karbondioksida (CO2) yang dihasilkan mobil berbahan bensin.

Setiap penggunaan 1 liter bensin dapat menghasilkan CO2 sebesar 2,4 kilogram. "Itu sejajar dengan 1,3 kWh listrik yang menghasilkan 1,2 kg karbondioksida," kata dia.

PLN bakal menggenjot pembangunan pembangkit listrik dari energi baru terbarukan di masa mendatang. Mulai dari pembangkit panas bumi, pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS, dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyiapkan peta jalan (roadmap) percepatan pengembangan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai beserta infrastruktur pendukungnya.

Berdasarkan roadmap, pembangunan pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) membutuhkan investasi sebesar Rp 309 miliar pada 2020 yang kemudian meningkat hingga Rp 12 triliun pada 2030.

"Naik drastis di 2030 yakni Rp 12 triliun untuk bangun 7 ribu SPKLU," kata Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi beberapa waktu lalu.

Sedangkan kebutuhan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) diproyeksikan mencapai 22.500 unit pada 2035.

Menteri BUMN Erick Thohir pernah memerintahkan PLN untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan mengubah strategi bisnisnya pasca-pandemi. Ia pun mengapresiasi langkah PLN yang telah tergabung dalam konsorsium BUMN untuk pembuatan EV battery bekerja sama dengan perusahaan dari Korea dan Tiongkok.

Dari hasil uji coba PLN yang mengendarai mobil listrik dari Jakarta ke Bali, biaya untuk kendaraan listrik lebih murah. Perbandingannya jika dengan BBM membutuhkan Rp 1,1 juta, maka dengan mobil listrik hanya Rp 200 ribu.

Erick mengharapkan keberadaan mobil listrik nantinya juga akan mampu menekan impor BBM Indonesia. Saat ini impor BBM mencapai 1,5 juta  barel per hari atau setara 200 triliun per tahun. "Mobil listrik adalah solusi untuk mengurangi berpindahnya devisa ke luar negeri,” ujarnya.

Pemerintah saat ini juga tengah menjajaki kerja sama dengan Tesla, produsen mobil listrik asal Amerika Serikat. Rencananya pada Februari ini Erick akan memulai pembicaraan dengan Tesla.

“Insya allah, di bulan Februari ini, saya akan membuka pembicaraan dengan Tesla untuk mengembangkan kerja sama ini,” ujar Erick seperti dikutip dari laman Setkab.go.id, Minggu (3/1).

Toyota mobil listrik (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Pemerintah Perlu Ciptakan Pasar Mobil Listrik


Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai optimisme untuk menjadi pemain global mobil listrik sah-sah aja. Namun perlu diingat bahan baku kendaraan listrik bukan hanya nikel.

Komponen penting baterai mobil listrik lainnya yakni litium dan cobalt. Sementara, Indonesia tidak memproduksi litium sama sekali. "Menurut saya tantangan saat ini adalah menjadikan Indonesia basis produksi kendaraan listrik, paling tidak untuk ASEAN," kata Fabby kepada Katadata.co.id, Senin (4/1).

Kemudian pengembangan teknologi melalui Research and Development (R&D) dan sumber daya manusia juga penting. Termasuk membangun ekosistem kendaraan listrik serta rantai pasok industri.

Untuk mendorong produksi maka pasar kendaraan listrik perlu dibesarkan. Menurut Fabby kuncinya ada pada penetrasi teknologi dan permintaan. Pasar yang membesar atau berkembang membuat produsen kendaraan listrik melihat Indonesia pasar yang prospektif sehingga mereka mau berinvestasi membuat kendaraan listrik di Indonesia.

"Kita butuh lebih banyak manufaktur untuk mendorong supply kendaraan listrik dan menciptakan persaingan yang efektif," ujarnya.

Cara mengembangkan pasar diantaranya dengan melakukan demand creation, melalui pengadaan kendaraan listrik untuk pemerintah dan kendaraan umum. Lalu untuk mendorong minat dan keterjangkauan masyarakat, pemerintah perlu memberikan insentif sehingga harga kendaraan listrik bisa bersaing dengan mobil konvensional dalam tiga hingga lima tahun mendatang.

Dia bearasumsi jika harga kendaraan listrik di atas Rp 350 juta, maka akan sulit bersaing dengan mobil konvensional. Pasalnya sebagian besar konsumen mobil Indonesia membeli mobil di bawah Rp 400 juta. "Kalau harga EV diatas itu, potensi pasar hanya 10% dari pasar kendaraan penumpang," kata dia.

Selain itu pemerintah juga perlu memberikan disinsentif orang membeli mobil konvensional dengan cara menetapkan pajak yang lebih tinggi pada mobilnya atau bahan bakarnya. Misalnya pajak emisi atau pajak CO2 dan menghapus subsidi bahan bakar.

Reporter: Verda Nano Setiawan