Menguji Keampuhan Perdagangan Karbon di Pembangkit Listrik Tenaga Uap

123rf.com/malp
Ilustrasi. Pemerintah akan melakukan uji coba perdangangan karbon di 80 unit pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU.
19/3/2021, 15.49 WIB

Paul mengatakan perusahaan yang menghasilkan emisi tinggi dapat membeli dari perusahaan lain. “Bayangkan jika harus membayar denda 100 euro per ton CO2. Untuk menghindarinya, lebih baik dia membeli di pasar,” ujarnya.

Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam berpendapat uji coba perdagangan emisi karbon adalah bagian dari perwujudan komitmen indonesia untuk membatasi kenaikan suhu global.

Dengan perdagangan karbon ini masing-masing PLTU didorong untuk menurunkan emisi CO2 hingga di bawah batas yang ditetapkan. Mereka yang mampu menurunkan emisi bisa menjual sertifikat penurunan kepada PLTU yang masih memiliki emisi di atas batas.

"Jadi ini bukan perdagangan biasa yang orientasinya semata ekonomi. Ini adalah upaya untuk menekan emisi karbon," ujarnya.

Perdagangan karbon juga menjadi salah satu sarana untuk mengimbangi penggunaan batu bara dengan energi terbarukan. Ketua Umum METI Surya Darma mengatakan selama ini Indonesia tidak mempunyai mekanisme carbon trading

Apabila program tersebut jadi diluncukran, maka akan banyak kesempatan bagi energi terbarukan untuk dikembangkan. "Itu sudah lumayan. Apalagi kalau nanti diberlakukan mekanisme standar portofolio energi terbarukan," ujarnya.

Surya kurang setuju dengan pandangan perdagangan karbon dapat memberikan celah bagi perusahaan ekstraktif untuk tidak serius menurunkan emisi GRK. Pasalnya, sektor ekstraktif juga membutuhkan energi terbarukan. “Jika tidak ada (energi terbarukan), bagaimana karbonnya dijual. Ini harus seimbang,” kata Surya.  

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).  (Arief Kamaludin|KATADATA)

Mekanisme Perdagangan Karbon Dianggap Solusi Semu

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator, Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menilai mekanisme perdagangan karbon merupakan solusi semu dengan taktik tambal sulam yang tidak jelas. Awalnya, pemerintah berencana melakukan co-firing (mencampur bahan bakar pembangkit) di PLTU, sekarang masuk ke perdagangan karbon.

Pemerintah, menurut Tata, lupa kebijakan utama yang harus dilakukan saat ini adalah transisi energi yang ambisius dari PLTU ke energi bersih. Ada tiga langkah utamanya, yaitu moratorium pembangkit batu bara, implementasi disiplin transisi energi, dan phase out PLTU yang tua.

Ada 2 persoalan dari perdagangan karbon. Pertama, penetapan harga. Kalau terlalu murah, maka kebijakan ini hanya akan menjadi pembenaran operasional PLTU. Insentif dan disinsentif untuk mengurangi karbon akan jauh dari cukup dan hanya menjadi justifikasi pembangkit itu.

Kedua, cap atau batas emisi karbon. Kalau sangat rendah, yang seharusnya mengeluarkan biaya untuk membeli emisi, malah menjual karbonnya.

Penetapan harga terlalu rendah dan cap yang longgar hanya membuat penurunan emisi menjadi sangat kecil. "Sistem pasar tidak akan bekerja sesuai dengan yang diharapkan untuk mengurangi emisi dari PLTU batu bara," kata Tata.

Kebijakan ini, ia berpendapat, mengarah ke solusi yang keliru. Kondisinya akan berbeda kalau mekanisme pasar karbonnya diatur untuk membuat PLTU tidak kompetitif. Carannya, dengan memasukkan seluruh biaya eksternalitasinya, termasuk dampak negatifnya terhadap kesehatan dan lingkungan. 

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana optimistis perdagangan karbon dapat menurunkan gas rumah kaca. “Khususnya di sektor energi karena mitigasi di pembangkit listrik,” ujarnya kemarin. 

Ia mengatakan 80 pembangkit yang ikut uji coba tersebut terdiri dari 54 unit pembangkit milik PLN. Sisanya, milik produsen listrik swasta atau IPP.

Pemerintah tengah menyusun regulasi perdagangan karbon. "Saat ini sudah dalam tahap final proses untuk terbitnya peraturan presiden tentang penyelenggaraan ekonomi karbon untuk pencapaian target emisi," ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan