Regulasi Hingga Harga Listrik Masih Hambat Pengembangan Panas Bumi

ANTARA FOTO/ANIS EFIZUDIN
Sejumlah pekerja beraktivitas di area instalasi sumur Geothermal atau panas bumi milik PT Geo Dipa Energi kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (10/10/2018).
6/5/2021, 19.53 WIB

Pengembangan panas bumi di Indonesia hingga saat ini masih terbilang lambat. Pasalnya, dari potensi sebesar 23,9 GW, yang baru dimanfaatkan hanya 2.130,7 MW atau 8,9% dari total sumber daya yang bisa dimanfaatkan.

Direktur Utama PT Medco Power Eka Satria mengatakan setidaknya ada dua permasalahan utama dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), yakni kepastian regulasi dan kemampuan PLN dalam membeli listrik.

Menurut Eka, persoalan harga jual listrik dari pembangkit EBT memang perlu dibicarakan secara terbuka. Apalagi jika sudah menyangkut perbandingan harga jual listrik antara PLTP dengan sumber pembangkit EBT lainnya.

"Harga jual listrik dari PLTP tak akan bisa menyaingi harga jual listrik dari PLTS. Namun jika dilihat dari biaya yang dibutuhkan selama siklus hidupnya, maka PLTP akan lebih unggul dibandingkan PLTS. Manfaat geothermal lebih besar," ujarnya dalam webinar bertajuk 'Sinergi Mendukung Pengembangan Panas Bumi', Kamis (6/5).

Masalah lainnya adalah terkait kepastian regulasi. Dalam kasus ini, pemerintah perlu memberikan sinyal kuat kepada swasta maupun investor terkait keberpihakan mereka pada industri panas bumi.

Pasalnya, dalam pengembangan panas bumi dibutuhkan modal yang cukup besar. Sehingga, baik investor, bank, maupun pemodal akan mengukur kembali pengembalian investasinya. "Apakah rate of return geothermal bisa memberikan 7 - 12%? Kalau tidak mereka akan pergi ke energi lain yang lebih murah," ujarnya.

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Prijandaru Effendi mengatakan tarif memang menjadi persoalan yang menghambat pengembangan panas bumi. PLN sebagai penyedia energi listrik tunggal untuk masyarakat memerlukan harga listrik yang terjangkau. Sementara pengembang juga mencari untung.

"Sehingga ada selisih antar ekspektasi pengembang dengan PLN. Padahal, pengembang sebenarnya hanya berpatokan pada internal rate of return (IRR)," ujar Prijandaru.

Adapun IRR terdiri dari banyak komponen. Salah satunya biaya, semakin murah biayanya, maka meski tingkat pengembalian (return) tetap, harga pasti akan turun. Begitu juga dengan outcome kapasitas.

Misalnya jika kapasitas produksi PLTP sebesar PLTU, yakni sampai 1.000 MW, Priyandaru yakin harga panas bumi akan sangat murah. Namun kenyataannya, kapasitas produksi panas bumi hanya 50 hingga 100 MW.

"Kenapa patokannya IRR, karena kami bandingkan dengan suku bunga pinjaman. Suku bunga yang semi commercial saja mencapai 7%," kata dia.

Oleh karena itu, ia sangat berharap pemerintah memberikan insentif. Serta peran teknologi untuk mempengaruhi keekonomian para pengembang. "Kalau itu bisa optimal semua pasti harga akan optimal," ujarnya.

Sementara, guna menggenjot pengembangan panas bumi. Pemerintah sendiri tengah menyiapkan regulasi yang diharapkan dapat membuat harga jual listrik daripada panas bumi lebih ekonomis.

Salah satunya dengan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur harga listrik energi baru terbarukan (EBT). Kementerian ESDM kabarnya telah menyerahkan draf rancangannya kepada Presiden Joko Widodo.

Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Harris mengatakan rancangan Perpres EBT saat ini masih dalam proses pemberian paraf dari beberapa menteri terkait di bawah koordinasi Kementerian Sekretariat Negara. "Permintah melakukan deregulasi listrik PLTP yang saat ini proses finalisasi dan sudah di proses di Setneg," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan