Rencana pemerintah mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan atau EBT melalui pengesahan undang-undang atau UU EBT masih tertahan. Komisi VII DPR masih mencari keseimbangan antara kebutuhan listrik yang akan diserap PT Perusahaan Listrik Negara alias PLN dengan kepastian hukum dalam berusaha di Indonesia saat ini.
Hal tersebut menyusul aturan yang bakal mewajibkan PLN untuk membeli listrik dari pembangkit energi baru terbarukan atau EBT. Aturan tersebut tertuang dalam pasal 40 Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang saat ini masih digodok DPR.
Pada pasal itu disebutkan bahwa badan usaha memiliki kewajiban untuk melakukan pembelian listrik dari sumber energi terbarukan.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mengatakan, implementasi dari aturan tersebut akan mempertimbangkan berbagai aspek. Di antaranya, keseimbangan kebutuhan listrik domestik yang akan diserap PLN dengan kepastian hukum dan kepastian berusaha dari para investor EBT.
"Tidak mungkin investor masuk ke pembangkit EBT jika tidak ada kepastian berusaha dalam hal ini take or pay kontrak. Sehingga take or pay kontrak harus diimplementasikan," ujar Eddy kepada Katadata.co.id, Rabu (18/8).
Take or pay merupakan ketentuan dalam perjanjian kerja sama produksi listrik oleh perusahaan swasta atau yang biasa disebut (independent power producer/IPP). Ketentuan ini juga mewajibkan PLN untuk membeli semua listrik yang dihasilkan IPP.
Sementara itu, Eddy menyadari pasokan listrik PLN saat ini dalam kondisi berlebih. Ini terjadi karena PLN juga terikat kontrak perjanjian jual beli listrik dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari produsen listrik swasta atau IPP.
Saat ini Komisi VII bersama dengan PLN dan Kementerian ESDM tengah membahas agar aturan ini dapat terimplementasi dengan baik ke depannya. Setidaknya ada beberapa opsi yang saat ini tengah dibahas bersama. Sayangnya, Eddy belum membeberkan beberapa opsi yang saat ini masih dikaji itu.
"Ada beberapa opsi yang tengah kami kaji, tapi nanti kalau sudah mengerucut dan matang lagi akan kami sampaikan lebih lanjut," katanya.
Saat dikonfirmasi perihal tersebut Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Bob Syahril tidak dapat berkomentar lebih jauh. Namun, dia memastikan kalau pihaknya akan siap menjalankan aturan tersebut jika sudah berbentuk menjadi undang-undang.
"Kalau sudah menjadi UU maka selaku BUMN (badan usaha milik negara) kita wajib melaksanakannya," ujar Bob.
Sebelumnya, Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof. Mukhtasor menilai ketentuan yang ada dalam RUU EBT menimbulkan kekhawatiran. Terutama pada pasal yang mewajibkan PLN membeli listrik yang bersumber dari energi terbarukan.
Menurut dia, kehadiran pasal 40 tersebut berisiko menimbulkan kelebihan pasokan listrik dan membengkaknya biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLN.
"Ada risiko pada portofolio PLN, sebagai BUMN akan jelek karena ambil lebih mahal daripada harga jualnya. Nasib PLN tergantung pemerintah," kata Mukhtasor.
Selain itu, dia juga menyoroti pasal 51 dalam RUU EBT yang mengatur mengenai skema penetapan harga atau feed-in tariff sebagai dasar harga jual listrik dari swasta ke PLN. Dalam pasal ini diatur bahwa dana APBN secara legal wajib digunakan untuk menutup kerugian PLN ketika membeli listrik lebih mahal dari swasta.
Mukhtasor juga menilai APBN saat ini memiliki keterbatasan. Ada potensi risiko yang harus ditanggung semisal pemerintah tak mampu membayarkan kompensasi tersebut. Jika kondisi tersebut terjadi, maka tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan kenaikan tarif listrik bagi masyarakat.
Jika tarif listrik naik, maka perekonomian akan terganggu. Oleh karena itu dia menyarankan agar strategi untuk mengompensasi listrik dapat diubah. Misalnya dari kompensasi menjadi dana investasi.
"Ada kompensasi, maka APBN kita akan mendapatkan tekanan tambahan," ujarnya.
PLN dinilai memiliki peran besar dalam mengejar target bauran EBT atau energi baru terbarukan sebesar 23% pada energi nasional pada 2025. Untuk mengejar target tersebut, PLN harus meningkatkan kapasitas pembangkit listrik EBT-nya sebesar 12 gigawatt (GW) hingga 2025. Pasalnya, hingga akhir 2020, realisasi bauran EBT baru mencapai 11%.