Pemerintah tengah berupaya untuk mendorong penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di masyarakat. Namun biaya untuk membangun PLTS atap masih terbilang mahal. Oleh karena itu pemerintah tengah melihat potensi adanya pendanaan atau kredit dari perbankan.
Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyadari modal untuk membangun PLTS atap saat ini memang terbilang belum ekonomis, berkisar antara Rp 19 juta hingga Rp 20 juta untuk satu rumah.
Dia juga membantah bahwa revisi Peraturan Menteri ESDM tentang PLTS atap sebagai bentuk subsidi terhadap orang kaya. Namun revisi tersebut bertujuan untuk meningkatkan penggunaan PLTS Atap di dalam negeri.
"Nanti dimungkinkan ada kredit yang diperuntukkan. Gak ada arah mensubsidi untuk orang kaya melalui plts atap ini," kata dia dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (27/8). "Sehingga bagi masyarakat yang tidak memiliki cukup uang untuk memasang PLTS atap bisa mengajukan kredit bank."
Peraturan Menteri ESDM tentang Pemanfaatan PLTS Atap dimaksudkan untuk memperbaiki pelaksanaan Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN. Sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2019.
Sejumlah bank pun sudah menyediakan fasilitas pembiayaan untuk pemasangan PLTS atap. Beberapa bank tersebut seperti Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank UOB Indonesia.
Bank Mandiri menyediakan kredit pemasangan PLTS atap mulai Mei 2021, bekerja sama dengan Dewan Energi Nasional (DEN) dan PT LEN Agra Energi. Pembiayaan diberikan dengan skema kartu kredit atau pinjaman tanpa agunan yang murah dan dapat dicicil bagi nasabah untuk pemasangan panel surya.
"Tahap awal skema yang akan kami keluarkan untuk nasabah yang sudah memiliki payroll di Bank Mandiri," kata Senior Vice President Micro & Consumer Finance Bank Mandiri Josephus Koernianto, dikutip dari Antara.
Masyarakat yang bisa menikmati layanan ini, antara lain pegawai pemerintahan dan swasta yang menyalurkan pendapatan tetap melalui Bank Mandiri. Melalui skema payroll, konsumen dapat mengajukan limit maksimal sebesar Rp 1 miliar dengan jangka waktu kredit paling lama 15 tahun.
Harga paket panel surya mulai dari yang termurah Rp 20 juta untuk 1 kilowatt peak (kWp), hingga yang termahal Rp 70 juta untuk 5 kWp. Saat ini Bank Mandiri hanya memberikan paket harga tersebut hanya untuk wilayah Jabodetabek.
BRI juga memberikan kredit pemasangan PLTS atap bekerja sama dengan DEN dan PT LEN Industri. Pembiayaan yang diberikan sangat fleksibel, dengan jangka waktu (tenor) pelunasan bisa disesuaikan hingga 15 tahun dengan bunga tak sampai 1%.
"Suku bunga yang diberikan single digit, hanya 0,92 persen, besarannya juga nanti disesuaikan tentunya dengan biaya untuk pemasangan pembangkit listrik tenaga surya," kata Pemimpin Wilayah Kanwil BRI Jakarta I Rudhy Sidharta, awal tahun ini.
Sedangkan UOB Indonesia menyediakan paket pembiayaan PLTS bernama U-Solar. Melalui program ini nasabah bisa menikmati cicilan dengan bunga 0% hingga 2 tahun dan dapat dibebaskan dari biaya tambahan apabila memasang panel surya dengan mitra UOB, yakni Selaras Daya Utama (Sedayu) dan TML Energy.
Bagaimana Kesiapan Industri Panel Surya?
Dari sisi kesiapan industri panel surya, Dadan mengatakan bahwa saat ini jumlahnya telah mencapai 22 hingga 26 pabrik yang ada di dalam negeri yang siap dengan 500 kWh. Dadan pun berharap pasar PLTS atap di dalam negeri semakin besar sehingga industri pembuat komponen panel surya terus bermunculan.
"Ini maksudnya untuk membuat pasar dalam negeri. Di sisi hulu pembuatan cell, tujuannya mengarah ke sana agar ada peningkatan kapasitas di dalam negeri untuk PLTS," katanya.
Sektor energi baru terbarukan (EBT), khususnya PLTS, dinilai masih sulit memenuhi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang ditetapkan pemerintah sebesar 60%. Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa mengatakan, produksi komponen untuk modul surya terkendala pada ukuran dan kepastian pasar.
Pasalnya pertumbuhan PLTS di dalam negeri sangat rendah, hanya 50-60 megawatt (MW) per tahun. Hal itu dapat terlihat dari produksi modul surya Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) yang kurang dari 10% dari kapasitas produksi.
Padahal, untuk membangun industri komponen modul surya, minimal permintaan perlu PLTS sebesar 500 MW per tahun. "Jadi untuk bisa membangun industri modul surya dalam negeri, pemerintah perlu menciptakan permintaan PLTS sebesar itu melalui berbagai instrumen kebijakan dan program," ujarnya beberapa waktu lalu.
Menurut Fabby jika investor melihat ada political will dalam bentuk kebijakan yang ambisius, regulasi yang ramah terhadap PLTS, dan ada konsistensi, maka investor akan memutuskan untuk membangun fasilitas produksi komponen modul surya, dan balance of system (BOS) PLTS, seperti inverter, controller, dan sebagainya.
Ia pun optimis permintaan PLTS di Indonesia, baik PLTS atap maupun PLTS ground mounted oleh PLN dan swasta, serta proyek PLTS apung dalam lima tahun ke depan akan sangat baik. "Minimal 500 MW dapat tercapai dalam dua atau tiga tahun dan dapat naik menjadi 1 gigawatt (GW) per tahun. Setelah 2025 bisa lebih besar lagi," ujarnya.