Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada Kamis (7/10) untuk pertama kalınya mengatur tarif karbon minimal Rp 30 per kilogram karbon CO2e. Lembaga Swadaya Masyarakat yang Fokus pada Kesejahteraan Masyarakat, Prakarsa menilai kebijakan ini sebagai kemajnan tetapi tarif yang dipatok terlalu rendah.
“Aturan baru tentang pengenaan pajak karbon yang akan mulai berlaku 1 April 2022 merupakan salah satu bukti konkrit komitmen Indonesia dalam mengurangi dampak emisi CO2. Namun, jika kita perhatikan lebih mendalam, kebijakan ini masih belum ideal” kata Direktur Eksekutif The Prakarsa Ah Maftuchan dalam siaran pers, Jumat (8/10).
Ia menjelaskan, kebijakan pajak karbon merupakan angin segar dalam upaya mencapai target pengurangan emisi karbon. Pemerintah akan kesulitan memenuhi target ratifikasi Perjanjian Paris 2015 jika hanya mengandalkan upaya meningkatkan porsi bauran energi baru terbarukan dengan target 23% pada 2025.
Maftuchan mencontohkan, angka capaian bauran EBT pada 2020 sekitar 11%. Meski ada peningkatan jika dibandingkan 2015 yang baru 5%, kenaikannya hanya mencapai sekitar 1% per tahun
Meski demikian, menurut dia, tarif karbon minimal yang dipatok dalam RUU HPP terlalu rendah. Tarif ini jauh lebih rendah dari Singapura US$ 3.71 per ton C02e atau US$ 0.0040 per kilogram C02e atau sekitar Rp 56.89 per kilogram CO2e. Padahal, jumlah emisi yang dihasilkan Indonesia berada jauh di atas Singapura.
“Tarif pajak karbon Rp 30 per kilogram karbon CO2e merupakan langkah maju, namun tarifnya masih terlalu rendah. Idealnya, tarif sebesar Rp 75-100 per kilogram karbon CO2e sesuai usulan awal pemerintah,” katanya.
Selain itu, menurut dia, pasal 13 Ayat 5 UU HPP menjelaskan bahwa subyek pajak karbon hanya orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung CO2 atau menghasilkan emisi karbon. Ini berarti subyek pajak karbon adalah konsumen.
Adapun jika perusahaan batu bara menjual batu bara ke industri lain, maka akan dianggap sebagai pemungut pajak karbon dan bukan subyek pajak karbon. Ia menilai pertimbangan pemerintah yang menerapkan pengenaan pajak karbon pada sisi permintaan tidak tepat sasaran dan dapat menimbulkan asumsi bahwa pemerintah hanya berpihak pada produsen.
”Pajak karbon seharusnya menjadi salah satu alat kontrol dalam mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan yang tidak hanya untuk mengubah perilaku konsumen namun juga praktik buruk produsen penyumbang emisi karbon tinggi,” katanya.