Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mendorong agar perdagangan karbon, yang telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, dapat dilakukan di dalam negeri terlebih dahulu.
Ketua METI Surya Darma mengatakan bahwa NEK atau carbon pricing diharapkan mendukung instrumen lain seperti pengendalian kebakaran hutan, pencegahan deforestasi dan degradasi lahan atau transisi teknologi untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT).
"Perlu diantisipasi agar perdagangan karbon ini dilakukan dengan institusi di dalam negeri. Hal ini supaya perhitungan emisi GRK yang dicapai akan tetap diperhitungkan sebagai kontribusi Indonesia.," kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (19/11).
Sebab, lanjutnya, jika dilakukan dengan institusi lain di luar negeri, maka tidak bisa diklaim sebagai kontribusi Indonesia. Hal ini akan merugikan pencapaian target penurunan emisi karbon atau gas rumah kaca (GRK) Indonesia.
Ini menjadi tantangan lain dalam regulasi pasar karbon. Selain membuka peluang Indonesia untuk menerima pendanaan yang lebih luas dalam pengendalian perubahan iklim, tetapi juga berpotensi tidak berkontribusi pada penurunan emisi GRK Indonesia.
Menurut Surya, saat ini penggalangan dana yang bisa dihasilkan dari carbon pricing dapat mencapai lebih dari US$ 50 miliar yang bisa dimanfaatkan untuk investasi hijau sebagaimana dikumpulkan oleh Bank Dunia.
Di lain pihak juga ada pajak karbon bagi orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Hal ini tentunya akan saling mempengaruhi bagi kegiatan ekonomi.
Karena itu, dia menilai ketentuan mengenai tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, mekanisme pengenaan pajak karbon, dan tata cara pengurangan pajak karbon yang akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, perlu disimak dan advokasi dengan baik.
Ini penting agar pembangunan berkelanjutan dapat berjalan dan tidak mempengaruhi bidang ekonomi secara keseluruhan. Sehingga penerimaan dari instrumen pajak ini dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim yang bermanfaat untuk masa depan bumi.
Harga Karbon RI Terlalu Murah
Hal ini pun diamini oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengizinkan perdagangan karbon lintas batas negara sampai target penurunan emisi GRK nasional tercapai, sebab, harga karbon di Indonesia merupakan yang termurah di dunia.
Indonesia akan mulai mengenakan pajak karbon pada April 2022 terhadap pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan bakar batu bara, dengan tingkat emisi karbon di atas batas yang ditetapkan pemerintah.
Ini akan menjadi langkah pertama Indonesia dalam membentuk pasar karbonnya pada 2025. Tarif pajak karbon Indonesia, yang saat ini hanya Rp 30.000 (US$ 2,11) per ton setara CO2 (CO2e), pada akhirnya akan menyamai harga internasional setelah pasar dapat menentukan harga.
"Harga karbon Indonesia akan jauh di bawah harga di beberapa negara lain, yang telah mencapai di atas US$ 40 per ton. Ini akan membuat menyebabkan masalah sebab nanti orang asing mau membeli kredit karbon kami untuk digunakan di luar negeri. Ini yang harus kami lindungi," kata Sri Mulyani seperti dikutip Reuters, Jumat (19/11).
Oleh karena itu, lanjut Menkeu, nantinya akan ada semacam kewajiban pasar domestik (domestic market obligation/DMO). Indonesia harus memenuhi kuota pengurangan karbonnya sendiri sebelum bisa menjual ke luar negeri. "Pemerintah sedang menyelesaikan mekanismenya," ujarnya
Pemerintah awalnya mengusulkan tarif pajak karbon yang lebih tinggi, sebesar Rp 75.000 per ton CO2e. Namun pemerintah dan DPR sepakat untuk menurunkannya menjadi Rp 30.000 per ton CO2e sebagai tarif perkenalan. Tarif ini juga memperhitungkan keterjangkauan harga listrik bagi masyarakat.
Sri Mulyani mengatakan pemerintah sedang merumuskan batas emisi karbon PLTU. Ketika level emisi di atas batas yang ditetapkan, PLTU harus membeli kredit karbon dari kegiatan ekonomi lain yang mengurangi karbon, atau membayar pajak karbon. "Bursa Efek Indonesia akan memfasilitasi perdagangan karbon," katanya.
Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Regulasi ini mengatur tentang penyelenggara perdagangan karbon di Indonesia.
Ada beberapa mekanisme perdagangan karbon yang diatur dalam beleid ini, di antaranya perdagangan antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade, pengimbangan emisi melalui skema carbon offset, pembayaran berbasis kinerja, dan pungutan atas karbon, serta kombinasi dari skema yang ada.
Perdagangan karbon diharapkan akan menjadi insentif untuk pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) untuk pengendalian perubahan iklim. Bukan saja sektor energi yang terpengaruh oleh perdagangan karbon, tetapi juga pada sektor kehutanan.