Aturan DMO Batu Bara Dinilai Tak Layak Masuk RUU EBT, Mengapa?

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.
Kuota DMO batu bara diatur dalam RUU EBT, bahkan kuotanya dinaikkan dari 25% menjadi 30% dari total rencana produksi perusahaan tambang.
19/5/2022, 19.47 WIB

Pada 2017, realisasi DMO sebesar 21%. Tercatat ada 97,03 juta ton batu bara yang dijual ke PLN dari total produksi sebesar 461,36 juta ton. Simak databoks berikut:

Selain itu, guna memancing para pelaku usaha untuk menuntaskan kewajiban DMO mereka, Ashov mengatakan Pemerintah bisa meningkatkan nilai pajak ekspor. Apalagi saat ini harga batu bara di pasar internasional menyentuh angka US$ 412 per ton. Adapun dana dari pajak ekspor tersebut bisa dimanfaatkan sebagai upaya transisi energi.

“Ini kan lagi durian runtuh untuk para pelaku usaha batu bara kan. Memang dari logika pengusaha akan lebih memilih ekpor daripada menjual dalam negeri karena adanya disparitas harga itu, tapi ini kan tergantung pada Pemerintah efektif gak untuk bisa mengawasi pemenuhan DMO dari pada menambah DMO itu sendiri,” ujar Ashov.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan RUU EBET harus memiliki keberpihakan yang jelas dengan mengedepankan regulasi energi terbarukan tanpa memasukkan pengembangan energi fosil seperti gasifikasi batu bara dan nuklir.

“Keberpihakkannya harus jelas. Harus murni mengatur energi terbarukan dan tidak perlu memasukkan energj fosil. Memang perlu menggunakan transisi energi tapi jangan sampai untuk mengurangi penggunaan energi terbarukan,” kata Tulus.

Ia melanjutkan, Pemerintah harus mulai mengubah sasaran subsidi energi sebagai bentuk mendukung transisi energi. Tulus mengatakan Pemerintah harus mulai melakukan subsidi kepada energi terbarukan sembari mengurangi subsidi kepada penggunaan energi fosil.

Adapun subsisi yang dimaksud meliputi pengadaan infastruktur, akses, dan harga jual. “Saya kira energi terbarukan perlu diberikan insentif baik itu fiskal maupun non fiskal. Masyarkat akan beralih asal harganya terjangkau,” ujar Tulus.

Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto, mengatakan latar belakang disusunnya RUU EBET adalah agar potensi sumber energi fosil dan nonfosil yang melimpah di Indonesia dapat tertata dengan baik.

Ketergantungan terhadap energi fosil secara terus menerus akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dalam bentuk pencemaran lingkungan, perubahan iklim, dan pemanasan global.

“Indonesia belum optimal memanfaatkan EBT meskipun Indonesia memiliki sumber daya energi terbarukan yang berlimpah, namun pengembangannya masih berskala kecil,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu