Campur Bensin dengan Bioetanol, RI Terkendala Minimnya Bahan Baku

ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/hp.
Petugas SPBU mengisi BBM jenis pertalite di mobil warga di SPBU Kampung Tofot Distrik Seremuk, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, Selasa (1/11/2022).
Penulis: Happy Fajrian
17/2/2023, 17.13 WIB

Pemerintah akan mulai mencampur bensin dengan bioetanol pada pertengahan tahun ini. Dalam peta jalan percepatan implementasi bioetanol di Indonesia yang diluncurkan Kementerian ESDM, implementasi dimulai dengan E5 atau bioetanol 5%.

Namun kurangnya bahan baku menjadi kendala pemerintah dalam mengembangkan bioetanol. Apalagi pemerintah berencana meluncurkan campuran bioetanol 10% atau E10 pada 2025, hingga E20 atau bioetanol 20%.

Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa ketersediaan bahan baku saat ini hanya cukup untuk menjadi bahan campuran sebesar 0,1% dari total konsumsi bensin nasional.

Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Edi Wibowo, menyampaikan bahwa sejauh ini produksi bioetanol untuk bahan bakar kendaraan atau fuel grade di dalam negeri baru mencapai 40.000 kilo liter (KL).

Produksi tersebut berasal dari dua pabrik di wilayah Jawa Timur, yakni 30.000 KL dari PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Kabupaten Mojokerto dan 10.000 kl dari PT Molindo Raya Industrial di Kabupaten Malang.

Edi menjelaskan, bahwa seluruh produksi 40.000 kl bioetanol tersebut hanya cukup untuk menjadi bahan baku campuran bensin sejumlah 0,1% dari konsumsi bensin nasional yang mencapai rata-rata 40 juta KL per tahun.

“Konsumsi nasional bensin kita kan rata-rata 40 juta KL per tahun, jadi produksi bioetanol saat ini hanya cukup 0,1% dari kapastias nasional. Mudah-mudahan kita menuju ke E5 dulu, kira-kira cukup karena ketersediaan bahan baku baru segitu,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Memang, saat ini ujicoba dilakukan secara terbatas, yakni di Surabaya yang dinilai dekat dengan sumber bahan baku bioetanol di Mojokerto dan Malang. Namun jika ingin implementasinya dilakukan secara nasional, tentu masalah bahan baku harus lebih dulu diatas.

Kendala lainnya terkait dengan logistik. Pasalnya bioetanol memiliki sifat yang cepat busuk lantaran terbuat dari tumbuh-tumbuhan. Sehingga lokasi pabrik bioetanol harus dekat dengan lokasi penyalurannya.

"Bahan bakar ini tidak bisa terlalu jauh pom bensinnya atau lokasi pengisiannya karena itu bisa busuk," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR pada Senin (13/2).

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu