Kementerian ESDM membuka opsi penggunaan dana Just Energy Transition Partnership atau JETP untuk mengakselerasi program konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU).
Program yang kerap disebut dedieselisasi itu dinilai menjadi jalan pintas bagi upaya menurunkan emisi karbon dari sektor pembangkit listrik.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan bahwa program dedieselisasi pembangkit listrik merupakan langkah efektif untuk mengurangi keluaran emisi karena memerlukan biaya lebih rendah dari rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
"Pemerintah ingin mempercepat konversi diesel ke gas, lalu dari gas nanti ke pembangkit EBT. Langkah ini paling cepet sih kalau mau menurunkan emisi," kata Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (17/2).
Melalui modal atau pendanaan transisi energi senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun yang disepakati pada KTT G20 November tahun lalu, pemerintah berencana membikin sejumlah langkah untuk mengurangi emisi gas karbon, terutama dari sektor pembangkit listrik.
Selain digunakan untuk mengakomodir program pensiun dini PLTU, pendaan JETP akan disalurkan untuk membangun infrastruktur pembangkit listrik EBT. Adapun sumber pendanaan JETP digawangi oleh Amerika Serikat (AS) dan Jepang, beberapa negara G7 plus Denmark, Norwegia, dan Uni Eropa.
Dana tersebut akan disalurkan dalam bentuk hibah, pinjaman lunak, dan pinjaman komersial. "Tidak hanya pensiun dini PLTU, ada juga isu lain. Mudah-mudahan dedieselisasi bisa masuk untuk pendanaannya," ujar Arifin.
Kendati demikian, Arifin mengatakan pendanaan JETP tak memungkinkan untuk dijadikan modal investasi untuk teknologi penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilizaton and storage (CCUS).
Teknologi CCUS disebut memiliki peran ganda, yakni mendorong produksi minyak dan gas (migas) sembari menurunkan emisi karbon di sektor migas. "Tapi dalam JETP tidak ada carbon capture, dia nanti akan ada dari skema yang lain," kata Arifin.
CCUS di industri migas dinilai penting dalam upaya meminimalisir krisis iklim dan mempromosikan pembangunan hijau dalam transisi energi menuju Net Zero Emission pada tahun 2060 lewat pengurangan emisi karbon sekitar 25 juta ton CO2 serta meningkatkan produksi migas hingga 300 miliar standar kaki kubic (BSCF) hingga 2035.