Pengembangan biomassa dan biodiesel dinilai akan menimbulkan permasalahn baru dalam pemenuhan pangan, terutama minyak goreng.
Peneliti Traction Energy Asia, Ramada Febrian mengatakan pemerintah telah menetapkan kebijakan B35 dengan mencampur 35% bahan bakar nabati dari kelapa sawit dengan BBM. Selain itu pemerintah juga mendorong pengolahan tanaman hutan menjadi pelet kayu dalam skema co-firing PLTU batu bara. .
“Karena ada permintaan yang banyak untuk pangan dan energi, akan meningkatkan harga,” katanya.
Ramada mengatakan kenaikan harga minyak goreng akan membebani anggaran negara karena pemerintah harus memberikan subsidi. Sementara itu, Peneliti Trend Asia Amalya Reza menyebutkan pengembangan biomassa berisiko membuka lahan hutan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 menyebutkan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi konversi (HPK) dicadangkan untuk energi.
“HPK masih ada 5 juta hektare (ha) hutan alam. Jadi kemungkinan mendorong deforestasi di HPK itu besar. Jadi ada potensi ancaman 5 juta hektare deforestasi dengan adanya proyek energi ini,“ kata Amalya.
Amalya mencontohkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah membuat kesepakatan dengan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) dan PT Perkebunan Nasional (PTPN). Perhutani akan mengalokasikan 70.000 hektare lahan untuk menjadi tanaman energi, sementara PTPN akan memasok limbah-limbah sawit, tebu, dan karet yang akan diremajakan sebagai bahan baku.
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) tahun 2022 memperkirakan CPO untuk pangan mencapai 9,6 juta ton dan untuk biodiesel sebanyak 8,8 juta ton. Sementara itu, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Demokrafi Universitas Indonesia (LPEM UI) memperkirakan pengembangan biodiesel skenario B50 membutuhkan lahan seluas 9,29 juta ha atau setara 140 kali luas DKI Jakarta.
Kajian Trend Asia pada tahun 2022 memperkirakan kebutuhan lahan HTE untuk pemenuhan target co-firing 10% di 107 unit PLTU paling sedikit butuh 2,33 juta ha, atau setara 35 kali luas DKI Jakarta.
Pada akhir 2022, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Beleid ini mengatur delapan jenis energi terbarukan, yakni air, panas bumi, surya, bayu, biomassa, biogas, air laut, dan bahan bakar nabati (BBN).
“Dengan terbitnya Perpres ini, kita jadi punya suatu regulasi yang mendukung percepatan EBT menjadi lebih komprehensif,” kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Dirjen ETBKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) Dadan Kusdiana.
Biomassa, biodiesel, dan biogas sering digolongkan sebagai bioenergi, dan merupakan salah satu sumber energi terbarukan berpotensial. Data Dirjen EBTKE menunjukkan bahwa sampai pada Oktober 2022, bioenergi memiliki potensi sebesar 57 gigawatt (GW).Sedangkan pemanfaatannya sebesar 3.073 megawatt (MW).
Menurut Ramada Febrian, ada beberapa alternatif untuk mencegah risiko persaingan energi dan pangan. Ini misalnya dengan menetapkan batas luas perkebunan sawit. “Kita stop [perluasan] lahan di 16,38 [juta ha],” ujar Ramada.
Pemerintah bisa kemudian melakukan perkiraan kebutuhan pangan dan energi secara berkala. Bersamaan dengan ini, peningkatan produktivitas sawit rakyat dan pembatasan ekspor bisa dilakukan.
Selanjutnya, pemerintah bisa menerapkan cap alokasi CPO dan campuran biodiesel, misalnya menggunakan minyak jelantah. Pada 2021, Traction memperkirakan minyak jelantah menjadi komplementer 10-15% atau 2-3 juta ton. “Kalau misalnya kebutuhan biodiesel adalah 15 juta ton, dan kita sudah cap 10 juta, 3 juta bisa dari minyak jelantah,“ kata Ramada.
“Ada langkah berani yang diambil oleh Australia untuk mengeliminasi penggunaan biomassa berbasis hutan sebagai sumber energi terbarukan. Harusnya Indonesia bisa melakukan itu,“ tukas Amalya dari Trend Asia.