Kementerian ESDM Buka Peluang Produsen Batu Bara Pasok Biomassa ke PLN

ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi
Petugas memantau alat Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di Desa Saliguma, Pulau Siberut tengah, Kepulauan Mentawai, Selasa (17/9/2019).
26/4/2023, 18.46 WIB

Kementerian ESDM berupaya untuk menjamin keberlanjutan pasokan biomassa untuk PLN dengan mendorong pemegang izin usaha pertambangan batu bara dan konsorsiumnya agar berkontribusi dalam penyediaan biomassa.

Selain itu, Kementerian juga koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dukungan pengembangan hutan tanaman energi hingga mendorong PLN dengan Perhutani dan PTPN III serta PT. Sang Hyang Seri dalam penyediaan bahan baku biomassa.

Pernyataan tersebut sekaligus menanggapi keluhan PLN yang mengalami kendala dalam pengadaan pasokan biomassa sebagai campuran bahan bakar PLTU batu bara yang belum optimal seiring ketersediaan bahan baku yang terbatas.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, mengatakan bahwa Komite Teknis Kementerian ESDM telah menerbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk beberapa jenis biomassa antara lain bahan bakar jumputan padat, pelet biomassa, woodchip, serbuk kayu, cangkang sawit, dan sekam padi.

Menurut Dadan, penerbitan SNI ini akan menjadi acuan untuk menjaga standar kualitas biomassa yang akan digunakan.

Adapun serapan konsumsi biomassa PLN untuk campuran atau co-firing batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mencapai 220.000 ton sepanjang kuartal I 2023. Angka ini setara 20% dari kebutuhan biomassa untuk 34 PLTU batu bara sebanyak 1,08 juta ton pada tahun ini.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Kementerian ESDM juga memfasilitasi kemitraan Kerjasama bisnis penyediaan biomassa antara penyedia dengan PLTU. "Kami juga mendorong penyediaan biomassa dari swasta dan masyarakat dengan dukungan dari lembaga non pemerintah," ujar Dadan kepada Katadata.co.id, Rabu (26/4).

Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan PLN Energi Primer Indonesia (EPI), Mamit Setiawan, menyampaikan bahwa pasokan biomassa sejauh ini umumnya masih berasal dari produk sampingan.

Kendala minimnya pasokan biomassa berangkat dari harga biomassa untuk pembangkit listrik dibatasi dengan harga patokan tertinggi atau HPT batu bara. Hal tersebut berimbas kepada sikap para produsen yang memilih menjual hasil biomassa mereka ke pasar ekspor.

"Saat ini hitung-hitungan harga biomassa ke pembangkit PLTU dibatasi maksimum sama dengan HPT batu bara pada PLTU tersebut," kata Mamit kepada Katadata.co.id, dihubungi terpisah.

Menurut Mamit, Indonesia akan mengalami sejumlah kerugian akibat Biomassa diekspor. Pengembangan energi hijau akan terhambat, di sisi lain pemenuhan energi dalam negeri sebagian besar masih dipenuhi oleh impor energi fosil berupa BBM dan elpliji yang mahal.

Mamit mengatakan, ekspor biomassa biasanya sepaket dengan menjual unsur hara ke luar negeri. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesuburan tanah di Indonesia.

"Produksi biomassa domestik tentu perlu energi yang memunculkan peningkatan emisi karbon. Namun bila diekspor maka penggunaan biomassa dengan emisi rendah akan dinikmati negara lain. Peningkatan emisi di Indonesia, sementara penurunan emisi di negara lain," ujar Mamit.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu