Direktur Utama PT Medco Energi Internasional Tbk Hilmi Panigoro mengatakan target pemerintah Indonesia mencapai Net Zero Emission pada 2060 tidak realistis.
Hilmi mengatakan, dunia saat ini berkomitmen untuk melakukan transisi energi. Komitmen tersebut juga diikuti oleh Indonesia yang menargetkan transisi energi pada 2060. Perusahaannya juga akan mengikuti kebijakan pemerintah untuk mencapai net zero emission.
Namun, dia mengatakan, target tersebut tidak realistis tercapai pada 2060. Menurut dia, sulit untuk mengganti energi listrik berbasis batu bara sebesar 23 GW dalam kurun waktu 25 tahun.
"Pertanyaan saya, apakah komitmen tersebut realistis untuk diraih? Gak bisa," ujar Hilmi dalam Tripatra Sustainable Engineering Summit, yang bertajuk “Ushering the New Era: Dare to Change Tomorrow!” di Jakarta, Jumat (13/10).
Dia mengatakan, pemerintah perlu membuat rencana yang jelas dalam mencapai target transisi. Hal itu termasuk mempertimbangkan dari sisi ketersediaan teknologi dan juga bisnis.
"Kalau itu tidak tercapai, ya kita bisa bilang itu mimpi, ujarnya.
Dia mengatakan, Indonesia masih konsumsi batu bara sebesar 8 miliar ton pada 2022. Sementara tahun ini, konsumsi batu bara diperkirakan meningkat menjadi 9 miliar ton. Hal itu mencerminkan bahwa Indonesia masih bergantung pada batu bara.
Selain itu, Hilmi mengatakan, energi baru dan terbarukan harganya masih sangat mahal. Jika PLN menggunakan EBT, akan ada dua kemungkinan yaitu perusahaan pelat merah tersebut menaikkan tarif dua kali lipat, atau negara memberikan subsidi dua kali lipat. Menurut Hilmi, kedua pilihan tersebut tidak mungkin untuk dilakukan.
Namun demikian, dia mengatakan, masih ada peluang untuk mempercepat realisasi net zero emission. Salah satunya dengan menggunakan teknologi carbon capture storage (CCS).
Sebagai informasi, CCS merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer.
"Ini yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk mengembangkan teknologi tersebut, ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berharap agar bonus penurunan emisi CO2 yang mencapai 2 juta ton bisa diperdagangkan di pasar karbon.
“Karena itu lebih baik dari target kita,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Yudo Dwinanda Priaadi.
Dalam kesempatan tersebut, Yudo memaparkan bahwa realisasi penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia, hingga saat ini, mencapai 118,2 juta ton CO2. Realisasi tersebut, kata Yudo, melampaui target enhanced nationally determined contribution (ENDC) Indonesia yang sebelumnya ditetapkan sebesar 116 juta ton CO2 ekuivalen.
Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau nationally determined contribution (NDC) merupakan kontribusi tiap negara anggota PBB yang menandatangani Perjanjian Paris 2015 atau Paris Agreement dalam menurunkan emisi karbon.
“Jadi, kita sekarang sudah bonus sekitar 2 juta ton CO2. Mudah-mudahan bisa lebih,” kata Yudo.
Pada 2024, Yudo menyatakan bahwa Indonesia menargetkan akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 142 juta ton.
“Melalui enhanced NDC, Indonesia menaikkan target penurunan emisi karbon,” ujar Yudo.