Implementasi pajak karbon akan menentukan perkembangan bursa karbon di masa depan dan komitmen pemerintah terhadap upaya untuk menurunkan emisi karbondioksida (CO2). Oleh karena itu, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden yang akan maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 harus memiliki komitmen mengenai pajak karbon.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira meminta masyarakat menantang ketiga capres 2024 untuk bisa merealisasikan pajak karbon tersebut. “Jangankan pajak terhadap perusahaan fosil, pajak karbon saja tidak jalan-jalan. Jadi, bisa tidak dalam 100 hari pertama itu kita tantang tiga-tiganya mengimlementasikan pajak karbon, kalau perlu dengan tarif yang lebih tinggi,” ujar Bhima dalam Diskusi Power Up Indonesia: Gerakan Orang Muda Menagih Komitmen Iklim Calon Presiden, di Jakarta, Kamis (19/10).
Bhima mengatakan, undang-undang terkait peraturan pajak karbon sudah ada. Namun, pajaknya hingga saat ini belum juga diimplementasikan. Artinya, implementasi teknisnya tidak berjalan atau berhenti. Dia menyebutkan, alasan pemerintah belum menerapkan pajak karbon karena kahwatir tarif listrik akan naik.
“Hal itu tidak berdasar. Justru ketika pajak karbon itu diterapkan, uang dari pajak karbon itu bisa mensubsidi rumah tangga miskin dengan energi yang lebih bersih,” kata Bhima. Oleh sebab itu, selain meminta implementasi pajak karbon kepada ketiga capres tersebut, Bhima juga meminta mereka untuk mematangkan program transisi energinya dengan jelas dan konkret.
Pajak Belum Diterapkan, Bursa Karbon Minim Peminat
Sebelumnya, Bhima menilai peminat bursa karbon akan sedikit jika perdagangan bursa karbon diluncurkan terlebih dahulu sedangkan pajaknya belum diterapkan. Pasalnya, tidak ada insentif dan disinsentif bagi pelaku usaha, terutama yang bergerak di sektor migas, pertambangan, serta perkebunan besar yang ingin terlibat dalam perdagangan karbon sebagai pembeli karbon," ujar Bhima kepada Katadata.co.id, pada Jumat (22/9).
Jika sudah ada pajak karbon, para pelaku usaha harus memilih untuk membayar pajak atas kelebihan emisi yang dihasilkan atau melakukan offsetting dengan bursa karbon.
Untuk itu, Bhima meminta pemerintah untuk segera mempercepat dalam penerapan pajak bursa karbon. Selain itu, tarif pajak karbon di Indonesia terlalu kecil. Bahkan, relatif lebih kecil dibandingkan rata-rata negara berkembang lainnya yang sudah memiliki instrumen pajak karbon.
“Harusnya pajak karbon cepat diberlakukan dengan tarif yang lebih tinggi, sehingga bisa memperdalam likuiditas bursa karbon itu sendiri. Itu mungkin yang sekarang harus dilakukan,” kata dia.
Target nilai perdagangan karbon sebesar Rp 15 ribu triliun yang kerap kali dilontarkan oleh pemerintah dan OJK kemungkinan besar tidak bisa tercapai. “Kemungkinan harga perdagangan karbon akan jauh di bawah target itu, kalau belum ada pemberlakuan pajak karbon,” ujarnya.
Adapun aturan pajak karbon tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) bukan pajak atas setiap emisi karbon yang dikeluarkan oleh badan usaha.
Badan usaha memiliki dua pilihan bila usahanya mengeluarkan emisi karbon lebih besar dari standar yang telah ditetapkan dalam sektornya, yaitu melakukan pembayaran pajak karbon kepada negara atau mencari carbon converter di pasar karbon.
Indonesia berpotensi memimpin pasar karbon yang diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon dengan sumber daya hutan tropis yang mencapai 125 juta hektare (ha). Sumber daya tersebut merupakan yang terbesar ketiga di dunia.