Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta persetujuan DPR Komis VII untuk memasukan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
“Terkait dengan sampah dan pengelolaan sampah, menurut kami penting mendapat kepastian masuk dalam konsiderasi RUU EBET,” ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam acara Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR, Jakarta, Senin (20/11).
Arifin mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan dan melengkapi kebijakan umum pengolahan sampah menjadi energi. Pasalnya, penglahan sampah menjadi energi merupakan salah satu program pengembangan bioenergi nasional.
Dia mengatakan, kedepannya pemerintah akan mewajibkan PT PLN (Pesero) untuk membeli listrik yang dihasilkan dari PLTSa. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendukung pemerintah daerah dalam mengatasi masalah sampah.
Adapun ketentuan pembelian listriknya mengacu pada energi nasional dan Rancangan Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Arifin menjelaskan, formula tarif listrik dariPLTSa tersebut nantinya akan diatur olehnya selaku Menteri ESDM.
Arifin menuturkan pengelolaan sampai menjadi tenaga listrik tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan adanya PLTSa, kualitas lingkungan diharapkan dapat membaik akibat jumlah sampah yang terus berkurang.
Dia mengatakan, nantinya pemerintah juga akan memanfaatkan sampah dalam program co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Hal ini juga sudah masuk dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM.
Dia menjelaskan, rancangan Permen tentang penerapan co-firing pada PLTU telah disetujui Presiden Joko Widodo. Kebijakan itu bertujuan untuk mengatasi masalah limbah, meningkatkan pangsa Energi Baru Terbarukan (EBT), dan mengurangi emisi dari PLTU.
“Peraturan tersebut juga mengatur terkait penerapan co-firing untuk PLTU milik PT PLN dan PLTU milik IPP, serta PLTU yang berlokasi di wilayah usaha tertentu," kata dia.
Anggota Komite DPD RI, Aji Mirni Mawarni, mengatakan sangat mendukung pengelolaan sampah menjadi energi karena permasalahan sampah di pemerintah daerah hingga saat ini belum juga teratasi dengan baik.
"Harapan pemerintah terutama kementerian keuangan terus mendukung RUU EBET terutama pada sisi lingkungan hidup," ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Laporan Waste4Change menunjukkan pengolahan sampah plastik fleksibel masih rendah di Jakarta. Bahkan, sampah yang diolah tidak sampai 5%.
Sampah plastik fleksibel adalah kemasan yang dibentuk dari aluminium foil, film plastik, selopan, film plastik berlapis aluminium dan lainnya. Kemasan ini dapat berbentuk lembaran, kantong, sachet, dan lain-lain.
Sampah plastik kemasan dapat mencapai 279,63 ton per hari. Dari total tersebut, hanya 3,77% sampah yang diolah. Rinciannya, 2,99% didaur ulang dan 0,78% untuk pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).
Sisanya, 87,52% sampah tetap di Tempat Pembuangan Sampah Terakhir (TPST) Bantar Gebang. Lalu, ada 8,72% sampah plastik kemasan tidak terkelola sama sekali.
Waste4Change melakukan penelitian ini pada Maret-Juni 2021 di DKI Jakarta dengan pengecualian Kepulauan Seribu. Cakupan alur sampah plastik kemasan ini dibatasi pada pengelolaan sampah pasca konsumsi domestik.