Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengundang para pelaku industri nuklir global untuk bekerja sama mengembangkan reaktor nuklir generasi IV di Indonesia. Ajakan tersebut telah disambut hangat oleh Rusia.
Kepala Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir BRIN Topan Setiadipura mengatakan bahwa reaktor yang paling sesuai untuk dikembangkan di Indonesia adalah yang berpendingin gas suhu tinggi (HTGR) karena sangat aman, ekonomis, dan minimum limbah.
Untuk itu, dalam pameran dan forum industri nuklir ATOMEXPO 2024, dia memaparkan rencana Indonesia membangun teknologi HTGR pebble bed berkapasitas 40MWt yang dinamakan PeLUIt-40.
“Harapannya BRIN bisa melakukan joint development. Kalau untuk teknologi yang BRIN kembangkan, (mitra) yang cocok itu Rosatom (Rusia) atau Cina,” kata Topan dikutip dari Antara, Kamis (28/3).
Dia mengatakan, BUMN nuklir Rusia, Rosatom, turut berperan dalam sejarah pengembangan reaktor generasi IV di Indonesia dengan melakukan transfer desain konseptual HTGR pebble bed pada 2015-2016.
BRIN telah mengajukan anggaran pengembangan teknologi HTGR kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebesar Rp 2 triliun, untuk proses pengerjaan yang diperkirakan sekitar lima tahun.
Menurut Topan, angka tersebut tidak besar jika mempertimbangkan kekuatan ekonomi Indonesia.
“Bagi pemerintah, sistemnya kan multiyears ya. Jadi setahun hanya sekitar Rp400 miliar, itu kan nggak besar. Di sisi lain, kita juga berkampanye ke luar, seperti di Rosatom ini, tujuan saya (berpartisipasi) kan untuk mengajak kolaborasi,” kata Topan.
Melalui pengembangan PeLUIt-40, Indonesia tidak hanya mengincar peningkatan produksi listrik melalui energi ramah lingkungan, tetapi juga untuk menghasilkan hidrogen yang rendah karbon.
Dengan demikian, pengembangan reaktor generasi IV diharapkan bisa mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi yang berasal dari bahan bakar diesel, terutama di daerah-daerah terpencil.
“Saat ini (PT) PLN itu mengeluarkan uang untuk menyediakan diesel di daerah-daerah terpencil sekitar 24 sen/kWh, sedangkan hitungan kita reaktor PeLUIt-40 itu (biaya listriknya) 13 sen/kWh,” kata Topan.
BRIN menargetkan desain reaktor tersebut bisa disetujui oleh Badan Pengawas Teknologi Nuklir (Bapeten) RI pada 2025, bersamaan dengan proses uji tapak, sebelum berlanjut ke persetujuan konstruksi.
“Kami berharap pada 2027 bisa mulai konstruksi, mungkin katakanlah (pembangunannya) tiga tahun lah karena reaktornya kecil. Tetapi itu akan tergantung mitra kita juga nantinya,” tutur Topan.
HTGR adalah jenis reaktor generasi IV yang mampu beroperasi pada suhu sangat tinggi dan menggunakan gas sebagai pendingin serta grafit sebagai moderator reaktor.
Selain dianggap lebih aman, reaktor tersebut juga mampu menghasilkan panas yang dapat digunakan dalam industri, misalnya untuk produksi gas hidrogen.
Rusia Siap Membantu
Perwakilan Rosatom di Indonesia, Anna Belokoneva, mengatakan pihaknya siap berbagi pengalaman dengan Indonesia dalam pengembangan teknologi nuklir untuk mendukung transisi ke energi bersih.
"Kami percaya nuklir adalah masa depan karena hanya dengan nuklir kita bisa menghadapi perubahan iklim dan mewujudkan dunia dengan nol emisi karbon," kata Anna.
Menurut dia, selama ini Rusia telah bekerja sama dengan Indonesia, terutama di sektor pendidikan, dengan banyak mahasiswa Indonesia mempelajari teknologi nuklir dan pemanfaatannya langsung di negara tersebut.
Selain itu, ujar Anna, Rosatom secara aktif terus menjalin komunikasi dengan Indonesia dalam hal pengembangan teknologi nuklir, meskipun belum ada diskusi yang mengarah pada kerja sama konkret tertentu.
"Kami senang untuk berbagi pengalaman dan keahlian kami di bidang nuklir, yang telah ditekuni oleh Rosatom lebih dari 80 tahun ini," kata dia.
Direktur Pengembangan dan Bisnis Internasional Rosatom, Kirill Komarov, mengungkapkan makin banyak negara menyadari pentingnya pemanfaatan energi nuklir.
Secara global, teknologi nuklir Rosatom telah hadir di sejumlah besar negara seperti Turki, Mesir, India, Bangladesh, Tiongkok, dan Belarusia.
Perusahaan Rusia tersebut juga menjajaki kerja sama dengan negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
"Kabar baiknya, makin banyak negara di dunia yang meyakini bahwa energi nuklir tidak hanya akan bertahan lama, tetapi akan berkembang pesat dan kepercayaan diri mereka dalam pemanfaatan nuklir pun makin meningkat," kata Kirill.
Berdasarkan perkiraan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), pembangkit listrik tenaga nuklir akan tumbuh 2,5 kali lipat pada tahun 2050, yang akan memproduksi 9 persen dari total bauran energi global.