Pengembangan Biodiesel Berpotensi Kurangi Devisa dari Ekspor Sawit

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Foto udara perkebunan kelapa sawit di Medang Sari, Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Jumat (19/8). Petani belum menikmati efek positif dari pembebasan pungutan ekspor minyak sawit mentah yang sudah dirasakan para pelaku industri kelapa sawit sejak 15 Juli 2022. Harga tandan buah segar atau TBS petani masih di bawah Rp 1.500 per kilogram dan ada pula pabrik yang belum mau menampung hasil panen mereka dengan alasan tangki minyak sawit mentah atau CPO penuh.
1/4/2024, 15.24 WIB

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memprediksi perkembangan biodiesel dari kelapa sawit akan berdampak pada penurunan ekspor hingga devisa Indonesia. Pasalnya, kenaikan konsumsi sawit untuk biodiesel akan menurunkan ekspor sawit dan produk turunannya.

Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, mengatakan kemungkinan ini terjadi jika pemerintah terus mengembangkan biodiesel B50 atau campuran 50 persen minyak kelapa sawit. B50 adalah biodiesel yang mengandung fatty acid methyl ester atau FAME minyak kelapa sawit sebesar 50% dalam komposisi BBM solar.

“Apabila produksi seperti saat ini, yang akan terjadi adalah penurunan ekspor (karena sawitnya digunakan di dalam negeri).  Kemungkinan ekspor akan di bawah 20 juta ton,” ujar Eddy saat dihubungi Katadata, Senin (1/4).

Eddy mengatakan, penurunan ekspor akan berdampak pada devisa yang didapatkan oleh Indonesia. Padahal, sawit merupakan salah satu komoditas yang menjadi andalan untuk meraih devisa. 

Menanggapi rencana Presiden terpilih Prabowo untuk menggenjot pengembangan produk biodiesel dan bioavtur dari kelapa sawit, Eddy mengatakan produktivitas sawit harus ditingkatkan.

Selain itu, perlu ada penambahan areal baru khusus untuk energi.  Pasalnya, luas areal sawit yang ada saat ini belum bisa memenuhi target pengembangan biodiesel meskipun produktivitasnya ditingkatkan.

"Dengan luasan saat ini, walaupun produktivitas naik sampai 5 ton minyak per hektare per tahun, tetap belum cukup," ujarnya.

Berdasarkan data Gapki, total konsumsi minyak sawit dalam negeri mencapai 23,21 juta ton pada 2023. Konsumsinya bertambah sekitar 2,07 juta ton atau tumbuh 9,8% dibanding 2022 (year-on-year).

Jika dirinci, konsumsi tersebut paling banyak digunakan untuk pembuatan biodiesel, baru kemudian untuk pangan. Pada 2023, konsumsi minyak sawit untuk biodiesel mencapai 10,65 juta ton atau 45,9% dari total konsumsi nasional.

Sementara konsumsi minyak sawit untuk pangan sekitar 10,3 juta ton atau 44,4% dari total konsumsi nasional.

Pengembangan Biodiesel Akan Berhenti di B50

Sebelumnya, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) juga memprediksi pengembangan biodiesel di Indonesia akan berhenti di B50. Hal itu disebabkan semakin menurunnya produksi sawit hingga regulasi yang tidak mendukung.

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat ME Manurung, menyambut baik program mandatori biodiesel 40 persen (B40) yang rencananya akan diterapkan tahun ini oleh pemerintah. Dia memprediksi ketersediaan CPO untuk B40 masih cukup.

Namun, Gulat mengatakan, produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia diprediksi akan habis untuk kebutuhan domestik jika pemerintah menaikkan mandatori biodiesel menjadi B50. Kebutuhan domestik tersebut diantaranya pangan, oleokimia, medis dan Biodiesel B50. Berdasarkan data Apkasindo, produksi CPO Indonesia mencapai 48 juta ton pada 2023.

“Kalau kita maju terus dari B40, kita akan stop pada B50. Karena CPO kita  akan defisit 1,24 juta ton jika patokan kita ke volume CPO tujuan ekspor tahun 2023 lalu sebesar 2,04 juta ton," ujarnya dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (13/3).

Dengan demikian, Gulat mengatakan, Indonesia akan berhenti ekspor jika pemerintah menjalankan B50. Akibatnya, Indonesia akan berhenti mendapatkan devisa dari sawit.

Rencana Prabowo-Gibran Butuh 7 Ha Lahan Sawit Baru

Presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakilnya Gibran Rakabuming Raka berencana membawa Indonesia menjadi raja energi hijau dunia melalui pengembangan produk biodiesel dan bioavtur dari kelapa sawit, serta bioetanol dari tebu dan singkong. Hal itu tercantum dalam dokumen visi misi Prabowo - Gibran saat menjadi calon presiden dan wakil presiden.

"Selanjutnya, Prabowo-Gibran akan melakukan program B50 dan campuran etanol E10 dengan sumber daya yang ada pada 2029," tulis dokumen tersebut.

Menanggapi rencana itu, Greenpeace Indonesia menyebut biodiesel, bioavtur, bioetanol adalah industri ekstraktif yang tinggi emisi. Dipercepatnya implementasi biodiesel akan semakin mempercepat ekstensifikasi lahan sawit.

“Karena tinggi lahan, intensitas penggunaan lahannya tinggi. Mau tebu, mau singkong, mau kelapa sawit itu pasti akan menggunakan lahan,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, Rabu (27/3).

Hal ini disampaikan Iqbal saat Diskusi Publik Refleksi Kritis Hasil Pemilu 2024: Bagaimana Arah Transisi Energi Indonesia 5 Tahun Mendatang? Di Jakarta, Rabu (27/3).

Iqbal juga menyinggung soal penggunaan biomassa yang digunakan untuk co-firing Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Menurutnya, penggunaan teknologi co-firing juga memerlukan banyak lahan karena pemenuhan biomassa.

Hal itu akan berdampak pada pembukaan lahan baru yang dapat mengakibatkan deforestasi. Greenpeace menjelaskan tiga skenario yang memprediksi kebutuhan lahan dalam mewujudkan program kerja ambisius ini.

Pertama, business as usual atau yang sekarang sedang dijalankan yaitu Biodiesel 35 (B35). Kedua, alokasi biodiesel ambisius sampai B40 dalam rentan waktu tertentu. Ketiga, alokasi biodiesel agresif B50 sampai 2042.

Greenpeace memprediksi adanya peningkatan signifikan permintaan minyak sawit untuk konsumsi Indonesia dari 2023 hingga 2042. Untuk memenuhi permintaan tersebut, dibutuhkan minyak sawit mencapai 67,1  juta ton pada skenario pertama.

Akan tetapi dengan menggunakan skenario ketiga seperti dicanangkan Prabowo-Gibran, maka setidaknya membutuhkan 75 juta ton minyak sawit. Kenaikan permintaan ini juga berdampak kepada kebutuhan untuk memperluas kebun sawit.

“Dalam skema ini kebutuhan untuk peningkatan permintaan pada skema 2042 itu mencapai 23 juta hektare,” ucapnya.

Iqbal mengatakan saat ini sudah ada sekiat 16 juta Ha lahan sawit. Dengan begitu, masih memerlukan sekitar 7 juta Ha lahan baru untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyak sawit.

Padahal saat ini hanya tersisi 3,4 juta hektar hutan alam tersisa di dalam konsesi sawit. Dimana hutan tersisa berada di Kalimantan dan Papua.

Ambisi untuk terus menaikkan tingkat campuran biodiesel akan meningkatkan kebutuhan ekspansi lahan kebun sawit secara signifikan.Dengan arah pengaturan perlindungan hutan yang ada, hutan alam tersebut mungkin akan lenyap dalam beberapa 2 dekade mendatang.

Luas Lahan Sawit Terus Tumbuh

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan) luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 15,38 juta ha pada 2022. Luas ini menjadi rekor tertinggi selama lebih dari lima dekade terakhir.

Namun, luas itu mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 1,8% dalam lima tahun. Menurut kepemilikannya, mayoritas area kelapa sawit Tanah Air dimiliki Perkebunan Besar Swasta (PBS), yakni seluas 8,4 juta ha pada 2022.

Ada juga Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6.37 juta ha. Sementara Perkebunan Besar Negara (PBN) paling kecil, yakni hanya 598.781 ha.

Areal perkebunan kelapa sawit ini tersebar di 34 provinsi Indonesia. Provinsi Riau tercatat memiliki kebun kelapa sawit terluas dengan luas 2,99 juta ha pada 2022 atau 19,50% dari total luas perkebunan kelapa sawit dalam negeri.

Kementan juga mendata, volume produksi kelapa sawit nasional mencapai 48,23 juta ton sepanjang 2022. Angkanya naik 3% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 46,85 juta ton.




Reporter: Rena Laila Wuri