Greenpeace: Tak Ada Ketahanan Energi Jika Transisi Bergantung pada Energi Fosil

Hutama Karya
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU)
19/8/2025, 12.58 WIB

Greenpeace Indonesia menilai krisis gas yang terjadi saat ini menunjukkan rapuhnya fondasi energi Indonesia jika bergantung pada sektor gas. Selain mahal, ketersediaan gas juga tidak stabil sehingga energi fosil ini tidak tepat jika dijadikan tumpuan untuk transisi menuju energi bersih

Greenpeace Indonesia menyoroti krisis gas yang memicu pembatasan kuota pemanfaatan hingga kenaikan harga gas. Hal ini berdampak pada industri padat energi seperti kaca, keramik, baja, petrokimia, hingga pupuk.

Menurut Greenpeace Indonesia, kondisi itu menjadi bukti ketahanan energi yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto tidak akan tercapai jika Indonesia masih bergantung pada energi gas fosil.

Di tengah fakta tersebut, Pemerintah Indonesia justru berencana meningkatkan penggunaan gas sebagai bahan bakar pembangkit listrik selama sepuluh tahun ke depan. 

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, pemerintah dan PLN berencana membangun 10,3 Gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga gas (PLTG). Sebesar 9,3 GW atau 90% dari total rencana tersebut akan dijalankan dalam lima tahun ke depan.

Angka tersebut sudah mengalami penurunan, di mana sebelumnya direncanakan 15,2 GW. Menurut Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, terdapat proyeksi impor kargo Liquefied Natural Gas (LNG) jika kebutuhan domestik meningkat di masa depan.

Greenpeace kembali menyoroti hal tersebut. Jika penambahan pembangkit gas baru akan menimbulkan ketergantungan dan risiko impor, seharusnya tidak perlu dilakukan penambahan. Pasalnya, ketergantungan tersebut akan menyulitkan Indonesia untuk mencapai ketahanan energi.

Studi Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) menyebut, Indonesia akan menjadi net importir gas tahun 2040, jika permintaan gas domestik terus meningkat. Situasi ini diperkuat dengan adanya pembangkit listrik gas baru.

Di samping itu, hasil studi Global Energy Monitor memperlihatkan, harga energi terbarukan akan semakin kompetitif dibanding listrik berbasis gas di Indonesia. 

Tingginya harga gas akan membebani keuangan PLN untuk membeli bahan bakar. Studi CERAH memperkirakan, akan timbul biaya tambahan hingga Rp155,8 triliun per tahun untuk membeli bahan bakar gas, jika pembangkit listrik tenaga gas 10,3 GW dilanjutkan.

Mengesampingkan Potensi Energi Terbarukan

Hingga 2024, Indonesia baru memanfaatkan 270 Megawatt energi surya, dari potensi 3,200 GW. Padahal, energi surya lebih stabil karena tidak bergantung pada pasar global yang rentan, serta sejalan dengan Swasembada Energi besutan pemerintah Indonesia.

Jika krisis gas dapat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK), transisi energi bersih justru membuka lapangan kerja baru. Riset Greenpeace Indonesia bersama CELIOS memperkirakan, akan ada 19,4 juta lapangan kerja baru dalam transisi ekonomi hijau selama 10 tahun ke depan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas