Cegah Deforestasi, FWI Desak Jepang dan Korsel Setop Impor Wood Pellet

Dok. Forest Watch Indonesia
Aktivis lingkungan yang terdiri atas organisasi masyarakat sipil menggelar aksi damai di depan kantor Kedutaan Besar Jepang dan Korea Selatan di Jakarta. Mereka memprotes impor wood pellets untuk biomassa yang dituding menjadi penyebab deforestasi di Indonesia.
Penulis: Hari Widowati
21/10/2025, 14.14 WIB

Para aktivis lingkungan yang terdiri atas sejumlah organisasi masyarakat sipil menggelar aksi damai di depan kantor Kedutaan Besar Jepang dan Korea Selatan di Jakarta. Mereka mendesak Jepang dan Korsel menghentikan impor pelet kayu (wood pellet) karena dinilai mempercepat kerusakan hutan alam dan bertentangan dengan prinsip keadilan.

"Hutan Indonesia bukan bahan bakar kalian, wahai warga Jepang dan Korea. Setop impor wood pellet dari Indonesia dan hentikan pengrusakan hutan di Indonesia," ujar Tsabit Khairul Auni, Koordinator Aksi dari Forest Watch Indonesia (FWI), dalam aksi damai di depan Kedutaan Besar Jepang, di Jakarta, Senin (20/10).

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Jepang dan Korea Selatan gencar mengimpor wood pellet dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Mereka menggunakan pelet kayu itu sebagai bagian dari strategi transisi energi di kedua negara maju itu. FWI menyebut hal ini menjadi tekanan luar biasa bagi situasi hutan di Indonesia dan memperparah deforestasi, degradasi hutan, dan pelepasan emisi karbon dalam skala besar.

Indonesia sebagai pemilik hutan terluas ketiga di dunia dan wilayah tiga zona waktu dengan keanekaragaman hayati terkaya di bumi, hutan Indonesia tidak mampu dan tidak etis digunakan untuk memenuhi lojakan permintaan biomassa. Setidaknya lebih dari 40 juta hektare hutan alam terancam hilang oleh berbagai macam proyek.

"Pemanfaatan wood pellet biomassa oleh Jepang dan Korea Selatan yang berasal dari Indonesia sudah keluar dari prinsip transisi energi berkeadilan," ujar Tsabit.

Dugaan Impor Wood Pellet Ilegal

Salah satu contoh impor wood pellet yang diduga ilegal, pada Agustus 2024 lalu, sempat tertangkap oleh Badan Keamanan Laut RI. Dari hasil pemeriksaan awal, diketahui MV Lakas merupakan kapal berbendera Filipina, mengangkut 10.545 metrik ton wood pellet yang tidak memiliki beberapa dokumen penting. Misalnya, Certificate of Analysis, Certificate of Origin, serta Certificate of Shipper Declaration yang diperlukan untuk mengangkut barang berbahaya berdasarkan IMSBC.

Penangkapan kapal tersebut terjadi berkat laporan Forest Watch Indonesia (FWI) yang ditindaklanjuti Zona Bakamla Tengah, yang bekerja sama dengan Pangkalan TNI Angkatan Laut Gorontalo.

Menurut Tsabit, aksi ini merupakan peringatan keras bagi kedua negara karena telah berkontribusi dalam perusakan hutan alam tersisa di Indonesia.

Sejak 1980-an, Indonesia dan Jepang bekerja sama dalam proyek-proyek biomassa. Pada 2020, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PLN meluncurkan rencana co-firing biomassa di 52 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Salah satu industri Jepang, yakni Mitsubishi Heavy Industries melakukan MoU dan studi kelayakan co-firing di Indonesia. Jepang dan Amerika Serikat juga membentuk Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk memobilisasi US$ 20 miliar dana publik dan swasta, dengan target co-firing 5–10% batu bara 2030–2050. Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Nippon Export and Investment Insurance (NEXI) memberi dukungan finansial dalam protokol co-firing PLN.

Selain itu, Sumitomo Heavy Industries (SHI), Ishikawajima-Harima Heavy Industries (IHI), telah mendorong co-firing biomassa di unit pembangkit. Kesepakatan impor ratusan ribu ton biomassa dari Indonesia ke Jepang, senilai triliunan rupiah. Investor Jepang Tokuyama Industry juga telah memeriksa kesiapan infrastruktur di Mukomuko, Bengkulu, untuk pembangunan pembangkit biomassa. Vietnam, Thailand, dan Cambodia pun mengalami nasib serupa.

Hasil investigasi tim FWI menunjukkan lebih dari 80% impor wood pellet oleh dua negara tersebut berasal dari deforestasi hutan alam. Bukan dari hasil rehabilitasi,” kata Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI.

“Indonesia termasuk Jepang dan Korea Selatan harus mengeluarkan biomassa (wood pellet beserta turunan kayu olahan lainnya), dari strategi transisi energi dan agenda iklim. Praktiknya tidak adil, karena di negara-negara pengimpor emisinya dihitung nol atau mendekati nol. Sementara di negara produsen seperti Indonesia menjadi sumber emisi di sektor hutan dan penggunaan lahan karena berasal dari deforestasi,” kata Anggi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.