Lembaga riset dan konsultan global Wood Mackenzie menyebutkan bahwa sektor tambang membutuhkan investasi hampir US$ 1,7 triliun atau lebih dari Rp 24.000 triliun selama 15 tahun ke depan untuk menciptakan dunia yang bebas emisi karbon.
Investasi tersebut dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan tembaga, kobalt, nikel, aluminium ringan dan berbagai logam lainnya untuk pengembangan ekosistem kendaraan listrik dalam skala besar, media penyimpanan dan transmisi listrik dari sumber energi terbarukan, serta baterai listrik.
Hal ini seiring keputusan sejumlah negara besar seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Jepang, Kanada, yang menaikkan target pengurangan emisi karbon untuk menghentikan pemanasan global. Keputusan itu dicapai pada pertemuan Leaders Summit on Climate yang digelar oleh Presiden AS Joe Biden pada April lalu.
Meski demikian, analis Wood Mackenzie, Julian Kettle menyebutkan bahwa ada keengganan pelaku industri pertambangan untuk berinvestasi dalam jumlah besar untuk menjaga pasokan di masa mendatang. Terutama dengan kecepatan dan skala yang diminta oleh transisi energi terbarukan.
Perusahaan tambang sangat hati-hati dalam melakukan investasi besar. Pasalnya dalam satu dekade terakhir, ketika sektor tambang berinvestasi untuk meningkatkan kapasitas produksi saat permintaan memuncak menyebabkan jatuhnya harga dan tentu saja pendapatan mereka.
"Mereka juga harus menyenangkan investor, yang kemungkinan besar tidak ingin dividennya dialihkan untuk menjadi belanja modal," ujar Kettle seperti dikutip Reuters, Selasa (11/5). "Fokus investor pada bisnis berwawasan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) turut menambah tantangan yang ada."
Australia, Kanada, dan Eropa Barat memiliki risiko ESG (environmental, social, and governance) yang rendah. Namun sumber daya tambang terbaik berada di kawasan berisiko tinggi seperti Republik Demokratik Kongo. Menurut Survei Geologi AS, sekitar setengah cadangan kobalt ada di Kongo.
"Mengingat kebutuhan untuk memenuhi target dekarbonisasi dan ESG yang ketat, negara Barat, pemberi pinjaman, investor, dan konsumen harus merasa nyaman beroperasi di yurisdiksi yang memiliki masalah ESG yang lebih kompleks," kata Kettle.
Kettle mengatakan dukungan pemerintah diperlukan untuk membantu penambang mematuhi masalah ESG guna memastikan produksi dari area berisiko tinggi dilakukan dengan cara yang dapat diterima oleh konsumen.
"Setelah itu, akankah Barat dapat mengamankan volume yang cukup dari bahan mentah yang dibutuhkan untuk mengejar transisi energi dalam rentang waktu yang dibayangkan," ujarnya.