Seruan Setop Investasi Energi Fosil, Begini Respon Sektor Batu Bara RI
Badan Energi Internasional (IEA) menyerukan agar dunia menghentikan investasinya pada proyek energi fosil demi mencapai target iklim bebas karbon pada 2050. Salah satunya yakni di sektor batu bara.
Ketua Umum Indonesian Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menyadari jika berbagai negara, khususnya di Eropa berupaya mengurangi konsumsi batu bara untuk pembangkit energi kelistrikan. Demikian juga Tiongkok, setelah akan berupaya untuk membatasi kenaikan pemakaian batubara setelah 2026.
Ratifikasi Paris Agreement dan didukung kemajuan teknologi energi terbarukan telah mendorong berbagai pihak untuk terus berkampanye mengurangi pemakaian energi fosil termasuk batu bara.
Tak hanya tekanan pada perbankan yang membiayai berbagai pembangunan PLTU batu bara, bahkan beberapa perusahaan Engineering, Procurement and Construction (EPC) tidak mau dilibatkan dalam pembangunan PLTU batu bara.
"Yang jadi masalah, bagaimana dengan Indonesia dan juga regional ASEAN? Energi fosil masih dominan menggerakkan sektor energi di Asia. Bahkan, hampir 84% energi masih didominasi minyak, batu bara dan gas bumi.," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (21/5).
Sebagian besar produksi batu bara Indonesia sekitar 625 juta ton pada tahun ini, dipastikan masih akan terserap di pasar Asia, khususnya Tiongkok dan India. Hal ini seiring dengan memanasnya hubungan Australia dan Tiongkok terkait embargo batu bara.
"Energi terbarukan memang tumbuh cukup tinggi di 2021, namun batu bara mengikuti juga pertumbuhan yang cukup positif di 2021 setelah tertekan di 2020," ujarnya.
Konsumsi energi listrik di dalam negeri, sampai di 2030 masih akan tetap didominasi oleh batu bara. Saat ini PLN sendiri membutuhkan batu bara sebesar 113 juta ton, dan di 2023 PLN masih membutuhkan batu bara sekitar 167 juta ton (IPP sebesar 98 juta dan PLN sebesar 69 juta ton).
Oleh sebab itu, jika saat ini kampanye anti batu bara semakin marak dan bahkan mendorong perbankan untuk tidak membiayai industri batu bara, maka Indonesia harus rasional atas kondisi yang ada terkait penggunaan batu bara selama ini.
Pemerintah perlu menyikapinya secara proporsional, namun tetap mendorong agar bauran EBT dapat dapat mencapai 23% pada 2025, yang saat ini baru mencapai 11,2%. Dengan adanya seruan itu, Singgih menilai investasi di sektor batu bara akan terganggu, khususnya untuk kepentingan pembangunan PLTU.
Bahkan saat ini, pembangunan PLTU baru di Jawa sudah tertutup. Sementara, di luar Jawa pun PLTU harus memanfaatkan teknologi supercritical dan ultra supercritical. Ini menjadi menjadi tuntutan perbankan sebagai lender.
Namun, tidak mudah di Indonesia yang berbentuk negara kepulauan, mengingat untuk memanfaatkan teknologi supercritical dan ultra super-critical minimal harus memiliki kapasitas 600 MW.
Dengan alasan tersebut, maka terpenting adalah bagaimana pemanfaatan batu bara secara paralel memikirkan teknologinya. "Yang kita tentang bukan batu bara nya tapi bagaimana meminimalkan dampak negatif dari pemanfaatan batu bara," kata dia.
Menurut Singgih, pemerintah harus proporsional atas kondisi industri pertambangan batu bara yang telah terbangun dan bauran energi batu bara yang telah tertuang dalam RUEN. Juga beberapa PLTU batu bara yang tentunya akan memasuki commissioning dalam beberapa tahun ini.
Singgih mengatakan untuk terus mengangkat Peningkatan Nilai Tambah (PNT) batu bara, maka harus diperkuat dengan berbagai kebijakan fiskal dan non-fiskal yang saat ini telah diberikan. Proyek Dimethyl Ether, misalnya, harus diperkuat terus dalam mengurangi substitusi impor LPG.
"Akhirnya, penolakan harus dikembalikan pada kepentingan dalam negeri atas kondisi industri pertambangan batu bara yang telah terbangun, kondisi kelistrikan yang telah disepakati dalam RUEN, teknologi energi batubara bersih yang harus terus dikembangkan," ujarnya.
Sementara, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai seruan ini memang cukup mengkhawatirkan bagi para pelaku usaha batu bara. Namun hal itu tak lantas membuat sektor batu bara langsung tamat begitu saja.
Pasalnya, permintaan untuk komoditas batu bara saat ini masih cukup tinggi. Misalnya, Tiongkok yang 60% listriknya masih menggunakan PLTU batu bara. "Apakah mereka langsung menghentikan? Gak juga, bertahap. Selama itu batu bara kita masih memiliki peluang," ujarnya.