Biaya mitigasi perubahan iklim untuk mencapai target penurunan emisi karbon dan gas rumah kaca di Indonesia sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) sangat besar, yakni mencapai Rp 3.779,63 triliun.
Peneliti Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto mengatakan kebutuhan dana sebesar itu, maka tidak memungkinkan jika semuanya harus dibiayai oleh pemerintah. Pasalnya, pendanaan dari pemerintah sangat terbatas.
Berdasarkan perhitungannya, pendanaan yang berasal dari pemerintah tidak lebih dari 34% setiap tahunnya. Oleh karena itu, diperlukan pendanaan dari non pemerintah untuk menutup gap tersebut. Misalnya dapat berasal dari sektor swasta, masyarakat sipil, hingga mitra kerja sama internasional baik bilateral dan multilateral.
"Kita bicara hitung hitungan rata-rata kemampuan pendanaan pemerintah tidak lebih dari 34% setiap tahunnya. Tinggal hitung saja 34% dari Rp 3.779 triliun sisa gap itu yang dapat didorong non government," kata dia dalam Webinar Investasi Energi Baru dan Terbarukan dalam Pengembangan Biomassa di Indonesia, Rabu (16/2).
Adapun target penurunan emisi gas rumah kaca dalam NDC yakni sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030. Biaya penurunan emisi GRK berdasarkan roadmap NDC mitigasi Indonesia KLHK (2020) sebesar Rp 3.779,63 triliun hingga 2030 atau sekitar Rp 343,6 triliun per tahun.
Sementara, berdasarkan Second Biennial Update Report KLHK 2018, biaya memitigasi perubahan iklim untuk mencapai NDC 2030 yakni sebesar Rp 3.461 triliun.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan sejumlah biaya itu akan digunakan untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 29% di sektor kehutanan sebanyak 497 juta ton CO2e, energi dan transportasi 314 juta ton CO2e, limbah 11 juta ton CO2e, pertanian 9 juta ton CO2e, serta IPPU 3 juta ton CO2e.
Sedangkan untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 41% dengan biaya bantuan internasional akan dilakukan terhadap sektor kehutanan sebanyak 692 Mton CO2e, energi dan transportasi 446 Mton CO2e, limbah 40 Mton CO2e, pertanian 4 Mton CO2e, serta IPPU 3,25 Mton CO2e.
"Kebutuhan kita di sektor energi sangat besar. Sektor kehutanan memang dalam juta ton emisi yang dikurangi itu besar, tapi biaya yang diperlukan relatif kecil dibanding energi dan transportasi,” kata Wamenkeu.
Upaya ini harus dilakukan karena sejak 2010 sampai 2018 emisi gas rumah kaca (GRK) nasional naik sekitar 4,3% per tahun serta dari 1981 sampai 2018 juga terjadi kenaikan suhu sekitar 0,03 derajat celcius per tahun di Indonesia.
Selain itu, permukaan air laut turut mengalami kenaikan sekitar 0,8 sampai 1,2 centimeter per tahun sedangkan 65% penduduk tinggal di wilayah pesisir sehingga perubahan iklim menjadi ancaman besar bagi Indonesia.
Menurut data Kementerian ESDM, dalam tiga tahun terakhir Indonesia selalu berhasil mencapai target penurunan emisi. Salah satunya berkat penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
Pada Pada 2021, Indonesia berhasil mengurangi emisi sebesar 69,5 juta ton CO2e dari target 67 juta ton. Pada 2020 Indonesia berhasil mengurangi 64,4 juta ton CO2e dari target 58 juta ton, dan pada 2019 54,8 juta ton CO2e dari target 51 juta ton. Simak databoks berikut: