Negara-negara berkembang di dunia akan membutuhkan hingga US$ 3 triliun atau sekitar Rp 46 kuadriliun per tahun untuk melakukan transisi energi untuk mencegah memburuknya perubahan iklim.
Hal tersebut disampaikan oleh mantan Managing Director Bank Dunia, Mari Elka Pangestu. “Perkiraannya sekitar US$ 1-3 triliun per tahun bagi negara-negara berkembang untuk dapat melakukan transisi,” ujarnya saat wawancara dengan CNBC.com, dikutip Senin (14/8).
Namun kurangnya sumber pendanaan telah mempersulit negara-negara tersebut untuk mengurangi emisi karbon tinggi mereka dan beralih ke energi bersih. Hal ini menyebabkan ketegangan antara negara berkembang dan negara maju, yang berusaha mendorong kemajuan dalam isu terkait iklim.
“Perdebatan ini akan berlanjut kecuali negara-negara maju dapat melihat bahwa ini adalah tentang pembangunan dan iklim, bukan hanya tentang iklim,” kata mantan menteri perdagangan, menteri pariwisata dan ekonomi kreatif, dan menteri koperasi dan UKM di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.
“Anda tidak dapat memisahkan keduanya (pembangunan dan iklim),” ujarnya lagi. “Kata kunci sebenarnya adalah transisi, bagaimana anda beralih dari emisi tinggi sekarang ke energi bersih. Itu akan membutuhkan negara berkembang untuk memiliki sumber daya”.
Dia mengatakan bahwa topik ini menjadi fokus karena kurangnya kemajuan yang dicapai dalam pertemuan para menteri iklim G20 di India beberapa waktu lalu. Pertemuan itu ditutup tanpa konsensus tentang hal-hal penting untuk mengatasi krisis iklim seperti pembiayaan untuk negara berkembang.
Mari pun mengatakan ada skala dan urgensi untuk mengatasi krisis iklim. Menurutnya hal itu membutuhkan upaya yang lebih besar dari semua pemangku kepentingan.
“Sebagian dari itu harus berasal dari sumber daya negara sendiri,” katanya. “Sebagian juga harus datang dari bank pembangunan multilateral dan sumber lain, yang akan mengurangi biaya dan risiko, sehingga sektor swasta bisa masuk.”
Dia berpendapat bahwa jika negara-negara maju ingin beralih dari bahan bakar fosil dan menghentikan pembangkit batu bara lebih awal, lebih banyak dukungan harus diberikan kepada negara-negara berkembang.
“Apa yang telah dilakukan Afrika Selatan dan Indonesia baru-baru ini dalam masalah khusus ini adalah mengatakan: 'Tidak apa-apa, Anda ingin kami keluar lebih awal', tetapi siapa yang akan mendanai biaya untuk keluar lebih awal?” dia bertanya.
“Ini adalah perusahaan swasta, Anda juga harus memberikan kompensasi kepada mereka. Ada masalah hukum, masalah keuangan. Jadi di sinilah kita harus benar-benar masuk ke dalam kebijakan dan reformasi.”
Kegagalan Pertemuan G20 pada Isu Iklim
Menteri perubahan iklim India Bhupender Yadav, yang memimpin pertemuan tersebut, mengakui bahwa ada beberapa masalah terkait dengan energi, dan beberapa masalah berorientasi target.
Pertemuan iklim bulan Juli dipandang sebagai kesempatan bagi pencemar terbesar dunia untuk mengambil langkah konkret menjelang pertemuan para pemimpin G20 pada bulan September di New Delhi dan KTT COP28 di Uni Emirat Arab pada bulan Desember.
Kegagalan untuk mencapai kesepakatan mengundang kecaman keras dari para aktivis lingkungan. “Eropa dan Afrika Utara terbakar, Asia dilanda banjir, namun menteri iklim G20 gagal menyepakati arah bersama untuk menghentikan krisis iklim yang meningkat dari hari ke hari,” kata Alex Scott dari think-tank perubahan iklim E3G.
“Laporan Arab Saudi dan Cina mencekik ruang politik forum bahkan untuk membahas arah baru transisi energi terbang di hadapan klaim mereka membela kepentingan negara-negara berkembang,” tambahnya.
Cina menolak laporan bahwa pihaknya telah menghalangi diskusi iklim pada pertemuan iklim G20, dengan mengatakan bahwa laporan yang relevan benar-benar bertentangan dengan fakta. Kementerian Luar Negeri bersikeras bahwa pertemuan tersebut mencapai hasil yang positif dan seimbang.
“Namun, beberapa negara memperkenalkan masalah geopolitik sebagai penghalang dan pertemuan tersebut gagal mengadopsi komunike. Cina merasa itu disesalkan,” kata kementerian itu tanpa menjelaskan lebih lanjut.