Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan setidaknya ada satu program transisi energi yang dibiayai dari dana Just Energy Transition Partnership (JETP) pada akhir tahun ini.
“Kita targetin paling engga akhir tahun ini ada satu program yang bisa jalan,” ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif, saat ditemui awak media, di Jakarta, Senin (9/10).
Namun demikia, Arifin enggan merinci program yang dimaksud. Arifin mengatakan, dua program yangberpotensi dijalankan pada akhir tahun 2023 ini di antaranya pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau pembangunan infrastruktur listrik yang biasa disebut smart grid.
“Iya antara kedua itu, karena JETP itu mengenai pensiun dini,” kata Arifin.
Sementara itu, Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan salah satu program tersebut bisa saja berjalan sesuai dengan target yang telah ditentukan karena proyeknya sudah jelas dan ada. Apalagi pemerintah sudah sepakat akan menyelesaikan dokumen rencana investasi atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) pada November 2023. Sehingga memungkinkan jika salah satu program tersebut bisa dijalankan pada akhir tahun ini.
“Paling tidak pendaanaan JETP, kalau engga dari International Partners Group atau IPG, ya dari banknya yang GFANZ (Glasgow Financial Alliance for Net Zero) itu,” kata Fabby.
JETP Hanya Akomodir Program Terminasi Energi Fosil
Sebelumnya, Fabby mengatakan skema pendanaan JETP senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun hanya mengakomodir program terminasi pembangkit listrik fosil. JETP juga hanya menyasar pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT).
"JETP hanya fokus pada power listrik, padahal untuk mencapai net zero harus mengikis emisi dari sektor industri, transportasi, energi, dan sektor perumahan," kata Fabby di Djakarta Theater pada Sabtu (24/6).
JETP pertama kali diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021. Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam IPG antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE).
Program pendanaan ini untuk membantu negara-negara berkembang meninggalkan energi batu bara sekaligus mendorong transisi ke penggunaan teknologi yang lebih rendah karbon.
Indonesia adalah salah satu negara yang berpotensi menerima pendanaan tersebut. Indonesia diperkirakan membutuhkan investasi transisi energi mencapai US$25-30 miliar atau sekitar Rp 393-471 triliun selama delapan tahun ke depan.