Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan, saat ini masyarakat bisa berkontribusi dalam perdagangan karbon namun harus menggandeng mitra lain sebagai narahubung yang sudah memiliki pengalaman serta keahlian di bidang pasar karbon.
Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Wahyu Marjaka, mengatakan masyarakat yang bisa melakukan perdagangan karbon hanya mereka yang sudah mempunyai izin dalam bentuk komunitas. Artinya, mereka harus memiliki sebuah perusahaan atau lembaga terlebih dahulu.
“Jadi masyarakat yang ingin bergabung harus ada manajemen badan usahannya dulu, baru nanti bisa melakukan perdagangan karbon tersebut,” ujarnya dalam acara Green Press Community di Jakarta, Rabu (8/11).
Wahyu menjelaskan dalam pelaksanaan perdagangan karbon harus memenuhi ketentuan diantaranya yakni, bagi masyarakat hukum adat, pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial, dan masyarakat pemilik hutan hak yang melakukan usaha dan/atau kegiatan Offset Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) harus mendapat pendampingan.
Disisi lain, Wahyu mengatakan masyarakat yang menjalankan perdagangan karbon harus memiliki porsi keuntungan yang sama dengan pihak swasta yang digandeng, sehingga tidak ada perbedaan.
“Maka perlu dibuat perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga tersebut. Nanti dapat diatur berapa proporsi untuk masyarakat dan pihak ketiga,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Senior Advisor Indonesian Conservation Community Warsi (KKI Warsi), Rudy Syaf mengatakan, salah satu kendala utama dalam menjalankan perdagangan karbon adalah prosesnya yang harus berupa business to business (B2B).
"Pilihan hari ini kalau masyarakat mau masuk ke bursa karbon Indonesia, masyarakat harus punya perusahaan supaya bisa jual karbonnya. Jadi itu sebenarnya yang menjadi kendala utama masyarakat belum siap jadi pebisnis," kata dia.
Pemerintah telah meresmikan Bursa Karbon sebagai tempat untuk perdagangan karbon kredit berupa Sertifikasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang telah terdaftar dalam Sistem Registri Nasional (SRN).
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Nani Hendiarti mengatakan, Indonesia memiliki potensi ekonomi karbon yang besar. Indonesia, menurut dia, terutama unggul dalam solusi berbasis alam atau natural based solutions (NBS).
Nani menjabarkan, potensi ekonomi karbon paling besar berasal dari ekosistem mangrove yang mencapai Rp 2.333 triliun, hutan Rp 2.333 triliun, gambut Rp 1.134 triliun, dan tumbuhan lamun (seagrass) mencapai Rp 100.
Kalau kita lihat, untuk hutan tropis sudah berjalan, tapi lebih yang nonmarket, jadi result based payment,” kata Nani di acara Katadata Sustainability Action for the Future Economy (SAFE) 2023 di Grand Ballroom Hotel Indonesia Kempinski Jakarta, Selasa (26/9).