Memahami Jenis-jenis Barang Bukti Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

Arief Kamaludin|KATADATA
ILustrasi, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Penulis: Agung Jatmiko
7/7/2022, 13.19 WIB

Dalam ranah perpajakan, pelanggaran yang dilakukan wajib pajak tak hanya diganjar sanksi administratif, melainkan juga sanksi pidana.

Sanksi pidana diterapkan jika terindikasi adanya tindak pelanggaran meski ada unsur ketidaksengajaan, ataupun tindak kejahatan yang sengaja dilakukan dalam pembayaran pajak.

Selain itu, sanksi pidana di bidang perpajakan diberikan, apabila ditemukan pelanggaran, atau kesalahan berat yang dilakukan dapat menimbulkan kerugian bagi negara.

Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

Sebelum diketahui adanya suatu tindak pidana perpajakan, perlu dilakukan pemeriksaan pajak. Ini dilakukan, untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data, dan tujuan lainnya dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Berdasarkan Pasal 43 Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Alur mengenai pemeriksaan perpajakan ini dimulai dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan, berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pemeriksaan bukti permulaan dilaksanakan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan DJP yang menerima surat perintah pemeriksaan bukti permulaan.

UU HPP juga menegaskan, bahwa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh PPNS tertentu di lingkungan DJP, yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Hal ini diatur dalam Pasal 44 Ayat (1) UU HPP.

Ruang lingkup pemeriksaannya sendiri meliputi pemeriksaan lapangan akan satu atau seluruh jenis pajak untuk tahun berjalan atau tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan di tempat wajib pajak.

Pengertian Barang Bukti Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

Dalam penyidikan pajak, biasanya dilakukan penyitaan dan pengolahan terhadap barang bukti, bahan bukti, dan/atau alat bukti. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-06/PJ/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (SE-06/2014), barang bukti merupakan bahan-bahan yang telah disortir menurut macam, jenis, maupun jumlahnya.

Bahan-bahan bukti ini disita oleh penyidik, dan digunakan sebagai sarana pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana bidang perpajakan.

Mengutip ddtc.co.id, bahan bukti diartikan sebagai benda berupa buku termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik, atau secara program aplikasi online, catatan, dokumen, keterangan dan/atau benda lainnya.

Bahan bukti tersebut merupakan dasar, sarana dan/atau hasil pembukuan, pencatatan, atau pembuatan dokumen yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan usaha, atau pekerjaan wajib pajak, atau orang lain, yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Sementara, alat bukti dimaknai sebagai barang bukti yang sudah diolah dan memiliki kekuatan serta penilaian dalam hukum pembuktian.

Jenis Barang Bukti Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

Merujuk lampiran SE-06/2014, barang bukti dalam tindak pidana di bidang perpajakan antara lain, akta pendirian, anggaran dasar, anggaran rumah tangga beserta perubahannya, dan surat pemberitahuan (SPT).

Selain itu, barang bukti dalam penyidikan tindak pidana perpajakan juga terdiri dari laporan keuangan, laporan audit, surat setoran pajak, perjanjian, kesepakatan, pernyataan, tax planning, dan faktur pajak.

Kemudian, invoice, voucher/dokumen sumber, notula rapat, surat pengukuhan pengusaha kena pajak, rekening koran bank, bukti setoran bank, kuitansi, aliran barang, aliran uang, serta dokumen ekspor dan impor juga dapat menjadi barang bukti dalam sengketa pidana perpajakan.

Adapun, dokumen ekspor dan impor yang menjadi barang bukti dalam penyidikan meliputi, pemberitahuan ekspor barang, pemberitahuan impor barang, telegraphic transfer, bill of lading, letter of credit, serta outward dan inward manifest.

Tak hanya itu, dalam penyidikan tindak pidana perpajakan, ada pula barang bukti lainnya yang dikumpulkan. Barang bukti lain ini mencakup struktur organisasi, standard operating procedures (SOP), keterangan pihak ketiga, berita acara pemeriksaan saksi, dan keterangan ahli.

Pada proses penyidikan, petugas penyidik pajak wajib menemukan barang bukti yang dapat diolah menjadi alat bukti. Tujuannya, agar dapat meyakinkan hakim dalam memutus perkara pidana perpajakan. Untuk memperkuat pembuktian tindak pidana di bidang perpajakan, pihak penyidik pajak setidaknya harus memperoleh minimal dua alat bukti yang sah.

Namun, mempertimbangan kemungkinan alat-alat bukti tersebut gugur dalam proses persidangan di pengadilan, penyidik harus dapat memperoleh sebanyak-banyaknya barang bukti untuk dijadikan sebagai alat bukti yang sah.

Berdasarkan Pasal 184 Ayat (1) UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang sah ini dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Patut diingat, hanya alat-alat bukti sah menurut peraturan perundang-undangan yang dapat dipergunakan untuk membuktikan tindak pidana di bidang perpajakan.