Memahami Pengaturan dan Besaran Tarif PPh Final Jasa Konstruksi

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.
Ilustrasi, pengerjaan konstruksi proyek Lintas Rel Terpadu (LRT) Jabodebek.
Penulis: Agung Jatmiko
19/7/2022, 13.46 WIB
  • Tarif PPh final 3,5% untuk penyedia jasa yang memiliki SBU atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perorangan.
  • Tarif PPh final 6% untuk Penyedia jasa yang tidak memiliki SBU atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perorangan.

2. Pekerjaan Konstruksi

Untuk layanan pekerjaan konstruksi, besaran tarif PPh Final yang dikenakan dibagi menjadi tiga, antara lain:

  • Tarif PPh final 1,75% untuk penyedia jasa yang memiliki SBU kualifikasi kecil atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perorangan.
  • Tarif PPh final 4% untuk penyedia jasa yang tidak memiliki SBU kualifikasi kecil atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perorangan.
  • Tarif PPh final 2,65% untuk penyedia jasa selain yang telah disebutkan.

3. Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi

Untuk layanan pekerjaan konstruksi terintegrasi, tarif PPh final yang dikenakan dibagi menjadi dua, yakni penyedia jasa yang memiliki SBU dan tidak memiliki SBU.

Untuk penyedia jasa yang memiliki SBU dikenakan tarif PPh final sebesar 2,65%. Sementara, penyedia jasa yang tidak memiliki SBU dikenakan tarif lebih tinggi, yakni 4%.

PPh final atas usaha jasa konstruksi dihitung dengan mengalikan tarif dan dasar pengenaan pajak (DPP). Berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) PP 9/2022, besaran DPP atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi adalah senilai jumlah pembayaran atau penerimaan pembayaran. Ini tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).

Adapun, jumlah pembayaran atau penerimaan pembayaran tersebut merupakan bagian dari nilai kontrak jasa konstruksi. Sebagai informasi, nilai kontrak jasa konstruksi dapat dipahami sebagai nilai yang tercantum atau seharusnya tercantum dalam kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan.

Pemotongan PPh Final Jasa Konstruksi

Aturan mengenai pemotongan PPh final atas jasa konstruksi termaktub dalam Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 6 PP 51/2008. Dalam aturan tersebut, disebutkan ada empat kondisi yang diperhitungkan untuk menentukan pihak yang melakukan pemotongan atau penyetoran PPh.

Pertama, PPh dipotong oleh pengguna jasa yang merupakan pemotong pajak pada saat pembayaran. Kedua, jika pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak, PPh disetor sendiri oleh penyedia jasa.

Ketiga, timbul selisih kurang bayar akibat jumlah PPh berdasarkan pada nilai kontrak jasa konstruksi lebih tinggi daripada PPh yang telah dibayarkan. Dalam situasi tersebut, selisih PPh disetor sendiri oleh penyedia jasa.

Keempat, nilai kontrak jasa konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh pengguna jasa. Pada kondisi tersebut, PPh atas nilai yang tidak dibayarkan tersebut tidak perlu disetorkan ataupun dipotong sepanjang penyedia jasa mencatatkannya sebagai piutang yang tidak dapat ditagih.

Halaman: