Ekonomi sirkular adalah model konsumsi dan produksi yang ingin menjawab persoalan lingkungan, seperti polusi, sampah, maupun perubahan iklim. Model bisnis ini berbeda dengan ekonomi linear yang skemanya adalah ambil – produksi – buang.
Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) Amerika Serikat mengatakan, ekonomi sirkular ingin mempertahankan bahan baku, produk, dan jasa dalam peredaran atau sirkulasi produksi-distribusi selama mungkin.
Perusahaan dapat meningkatkan efisiensi jika menerapkan ekonomi sirkular. Misalnya dengan mengurangi penggunaan bahan baku dan tidak perlu sering mengubah desain produk. Perusahaan juga dapat memanfaatkan limbah dari produk tersebut untuk menjadi bahan baku atau produk baru.
“Model ekonomi sirkular ini merupakan bagian penting dalam memperlambat perubahan iklim,” sebut EPA.
(Baca: 6 Negara Bersedia Membayar Dana Perubahan Iklim, Berapa Nilainya?)
Menurut Panel Sumber Daya Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), selama ini ekstraksi dan pemrosesan sumber daya alam merupakan salah satu penyumbang emisi karbon. Kira-kira setengah dari kontribusi emisi gas rumah kaca (GRK) berasal dari proses produksi ini.
Makhtar Diop dan Aloke Lohia dalam “Why we must embrace the circular economy to save our planet” mengatakan, ekonomi sirkular akan mengubah cara manusia mengambil bahan baku, serta memproduksi dan membuang produk. Mulai dari plastik, tekstil, kaca, baja, tembaga, titanium, dan beragam komponen vital untuk telepon seluler, mobil, dan kulkas.
Sejumlah industri telah mulai menerapkan model ekonomi sirkular, seperti di sektor busana (fesyen), elektronik, dan konstruksi. Ada juga perusahaan furnitur yang menerapkan program pembelian kembali (buy-back), dan perusahaan makanan cepat saji yang menggunakan kemasan yang bisa didaur ulang.
Salah satu perusahaan yang menerapkan model bisnis sirkular adalah Indorama Ventures. Perusahaan manufaktur berbasis di Bangkok, Thailand tersebut telah memproduksi dan mendaur ulang polietilen tereftalat (PET). Ini merupakan bahan mentah yang umum digunakan untuk kemasan makanan dan botol plastik.
Aloke Lohia, Group Chief Executive Officer Indorama Ventures, menyebutkan perusahaannya telah berinvestasi US$1,5 miliar untuk meningkatkan kapasitas daur ulang menjadi 50 miliar botol pada 2025. Ada lima negara yang akan disasar untuk peningkatan kapasitas produksi tersebut, yakni India, Filipina, Indonesia, Thailand, dan Brasil. Kelima negara ini merupakan yang paling terdampak polusi laut.
“Saat ini, rantai pasokan sedang diatur ulang untuk beradaptasi ke disrupsi besar, termasuk pandemi dan dampak dari perang di Ukraina. Kita harus menggunakan kesempatan ini untuk menanamkan prinsip-prinsip ekonomi sirkuler ke dalam rantai pasokan global,” tulis Diop dan Alohia.
Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan lima sektor prioritas untuk implementasi ekonomi sirkular, yaitu makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, grosir dan eceran, dan elektronik.
Bappenas memperkirakan bahwa ekonomi sirkular dapat menghasilkan tambahan antara Rp593 triliun dan Rp638 triliun untuk produk domestik bruto (PDB) pada 2030. Ini juga akan bermuara ke pengurangan emisi setara 126 juta ton karbon dioksida (CO2).