Faktur Pajak Retensi, Pengertian, dan Contoh Penerapannya

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Ilustrasi, pekerja menyelesaikan pengerjaan proyek MRT Jakarta Fase 2A.
Penulis: Agung Jatmiko
17/1/2023, 15.57 WIB

Dalam sistem perpajakan Indonesia, dikenal adanya dokumen bernama faktur pajak, yang merupakan bukti pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dari pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang/jasa kena pajak (BKP/JKP).

Faktur pajak ini terdiri dari beberapa jenis, di mana masing-masing dibuat berdasarkan kondisi transaksi tertentu. Di antara jenis faktur pajak tersebut, dikenal adanya faktur pajak retensi.

Apa sebenarnya faktur pajak retensi tersebut, serta seperti apa contoh penerapan faktur pajak ini? Simak ulasan berikut ini.

Pengertian Faktur Pajak Retensi

Mengutip online-pajak.com, faktur pajak retensi adalah faktur pajak yang diterbitkan untuk mempertahankan persentase tertentu dari nilai faktur sampai layanan atau produk yang terkait dengan faktur berhasil diselesaikan.

Faktur pajak retensi umumnya digunakan dalam industri konstruksi, di mana pekerjaan kontraktor belum selesai namun pelanggan membutuhkan jaminan bahwa pekerjaan akan selesai.

Sebagai informasi, retensi merupakan jumlah termin yang tidak dibayar sampai dengan pemenuhan kondisi yang ditentukan dalam kontrak, atau pembayaran ditahan hingga kondisi suatu proyek telah diperbaiki sesuai dengan kesepakatan. Besaran nilai retensi biasanya 5% dari nilai kontrak proyek.

Misalnya, dalam sebuah kontrak konstruksi kontraktor telah menyelesaikan pekerjaan dan hanya dibayar sebesar 95% dari kontrak. Maka, sisa 5% ditahan sebagai uang retensi. Besaran 5% tersebut, adalah jumlah uang ditahan jika terjadi ketidaksempurnaan bangunan dan harus diperbaiki oleh kontraktor.

Retensi dilakukan apabila terjadi kerusakan yang diakibatkan kesalahan pekerjaan oleh kontraktor. Apabila kerusakan terjadi karena kesalahan pemakaian dari pengguna, maka pekerjaan retensi tidak berlaku dan untuk penyelesaian pekerjaan akan dikenakan biaya tertentu sesuai kerusakan.

Masa retensi biasanya berlaku 3-12 bulan, tergantung pasal yang tercantum dalam kontrak. Setelah masa pemeliharaan atau ketika kondisi proyek sudah sesuai dengan perjanjian, maka uang yang ditahan akan dibayarkan kepada kontraktor.

Retensi dimulai setelah adanya berita acara serah terima pekerjaan tahap satu. Setelah berakhirnya masa retensi, biasanya dilakukan pengecekan ulang terhadap pekerjaan kontraktor.

Apabila pekerjaan telah dinyatakan sesuai, maka selanjutnya dibuat berita acara serah terima pekerjaan tahap dua. Apabila berita acara serah terima pekerjaan tahap dua ditandatangani, maka kewajiban kontraktor telah selesai dan uang retensi dapat dicairkan.

Contoh Penerapan Faktur Pajak Retensi

Terkait dengan penerapan faktur pajak retensi, berikut ini contoh kasus terjadinya transaksi retensi. Misalnya, pada surat perintah kerja (SPK) di suatu perusahaan jasa konstruksi tertulis syarat pembayaran berupa 40% uang muka. Kemudian, 55% pembayaran dilakukan setelah pembayaran selesai, dan 5% retensi tiga bulan setelah proyek selesai. Adapun, nominal pembayaran yang dilakukan adalah Rp 100 juta.

Atas transaksi ini, dibuat faktur pajak retensi yang memuat beberapa keterangan sebagai berikut:

  • Uang Muka = 40% x Rp 100.000.000 = Rp 40.000.000
  • PPN Uang Muka = 11% x Rp 40.000.000 = Rp 4.400.000
  • Pembayaran Setelah selesai = 55% x Rp 100.000.000 = Rp 55.000.000
  • PPN Pembayaran setelah selesai = 11% x Rp 55.000.000 = Rp 6.050.000
  • Retensi = 5% x Rp 100 Juta = Rp 5.000.000
  • PPN Retensi = 11% x Rp 5.000.000 = Rp 550.000

Atas transaksi retensi ini, faktur pajak diterbitkan saat diterimanya down payment atau uang muka. Lalu, faktur pajak kedua diterbitkan saat pekerjaan selesai, di mana dituliskan nominal pekerjaan dikurangi uang muka.

Patut diingat, atas penyerahan retensi tidak perlu dibuatkan faktur pajak. Sebab, jasa kena pajak telah diserahkan seluruhnya.