Faktur Pajak Fiktif, Pengertian, Modus, dan Sanksinya

Freepik
Ilustrasi, faktur pajak.
15/11/2023, 16.27 WIB

Kasus faktur pajak fiktif kembali terjadi. Pada Selasa (14/11), Penyidik Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan I menyerahkan tersangka tindak pidana perpajakan berinisial HS ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Mengutip DDTC News, tersangka HS disebut sebagai salah satu dari komplotan penerbit faktur pajak fiktif. Ia diduga sengaja menerbitkan faktur pajak yang tidak sah sejak 2020 hingga 2021, yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 10,11 miliar.

Atas perbuatannya, HS dicancam hukuman pidana penjara maksimal enam tahun, dan denda maksimal enam kali jumlah pajak yang tertera dalam faktur pajak fiktif.

Apa sebenarnya faktur pajak fiktif, seperti apa modus penerbitannya, serta apa saja sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku yang menerbitkan faktur pajak tidak sah ini? Simak penjelasan selengkapnya dalam ulasan berikut ini.

Faktur Pajak (Freepik)

Pengertian dan Modus Faktur Pajak Fiktif

Mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak, faktur pajak fiktif adalah faktur pajak yang terbit tidak berdasarkan transaksi sebenarnya, atau faktur pajak yang diterbitkan oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).

Sebagai informasi, faktur pajak dapat dikatakan sah apabila memenuhi ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010. Beberapa aturan yang dimaksud, di antaranya adalah menggunakan kode dan nomor seri faktur pajak, serta memuat keterangan yang lengkap dan jelas.

Dilansir dari beberapa ulasan di media, beberapa kasus yang ada memiliki modus yang sederhana, yakni PKP membeli faktur pajak fiktif masukan dan mengkreditkannya dalam SPT masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tujuannya, adalah untuk memperoleh pengembalian pajak (restitusi), atau minimal mengurangi pajak keluaran yang harus disetorkan ke negara.

Selain itu, dalam banyak kasus ditemukan kemiripan wajib pajak yang menerbitkan dan menggunakan faktur pajak fiktif. Kriteria penerbit atau pengunggah faktur pajak tidak sah, antara lain sebagai berikut:

  • Wajib pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN, namun elemen data SPT beserta lampirannya tidak dapat direkam, karena tidak terdaftar sebagai PKP.
  • Wajib pajak yang sering berpindah alamat, atau sering mengajukan permohonan pindah alamat/tempat kedudukan/permohonan perpindahan lokasi tempat terdaftar.
  • Wajib pajak non-efektif yang tiba-tiba aktif dan mempunyai jumlah penyerahan besar.
  • Wajib pajak yang baru berdiri, tetapi memiliki jumlah penyerahan besar dan PPN Kurang Bayarnya Kecil.
  • Beberapa wajib pajak yang pengurus dan komisarisnya adalah orang yang sama.
  • Wajib pajak yang melaporkan jumlah penyerahan tidak sebanding dengan jumlah modal atau jumlah harta perusahaan.
  • Wajib pajak yang melakukan pembetulan SPT Masa PPN, yang mengakibatkan jumlah pajak keluaran menjadi lebih besar diimbangi dengan perubahan pajak masukan yang besar, sehingga tidak mengubah PPN kurang bayar yang telah dilaporkan atau menambah PPN kurang bayar tetapi nilainya kecil.
  • Wajib pajak yang penyerahan BKP sangat beragam, sehingga tidak diketahui dengan pasti kegiatan usaha utamanya.
  • Wajib pajak yang berdomisili di kawasan perumahan tetapi punya peredaran usaha besar.

Penyidikan dan Penanganan Indikasi Faktur Pajak Fiktif

Terhadap indikasi adanya penerbitan faktuf pajak fiktif, DJP berwenang melakukan penyidikan, yang kemudian dapat diikuti dengan penanganan.

1. Penyidikan Dugaan Faktur Pajak Fiktif

Berkaitan dengan adanya indikasi faktur pajak fiktif, DJP akan melakukan penyidikan, dengan cara meminta keabsahan dokumen identitas wajib pajak, pengurus dan penanggung jawab wajib pajak.

DJP juga berwenang mengetahui keberadaan wajib pajak serta kesesuaian atau kewajaran profil wajib pajak. Lalu, mengetahui keberadaan dan kewajaran lokasi usaha wajib pajak, serta mengecek kesesuaian kegiatan usaha wajib pajak.

Langkah-langkah penyidikan DJP ini dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:

  • Kunjungan ke tempat wajib pajak.
  • Pemeriksaan lapangan.
  • Mengkonfirmasi kepada instansi atau pejabat berwenang.
  • Melakukan kegiatan intelijen perpajakan.
  • Pengamatan.
Faktur Pajak (Freepik)

2. Penanganan Indikasi Faktur Pajak Fiktif

Apabila wajib pajak terindikasi membuat dan melaporkan faktur pajak tidak sah, DJP berwenang menjatuhkan sanksi administratif. Sanksi yang dimaksud, adalah memberikan status suspend terhadap wajib pajak yang bersangkutan.

DJP kemudian menonaktifkan sementara Sertifikat Elektronik akun PKP. Status ini membuat wajib pajak tidak mampu menerbitkan faktur pajak, terhitung dari tanggal ditetapkannya status tersebut.

Tujuan DJP memberikan status non-aktif sementara, adalah untuk memberi kesempatan wajib pajak melakukan klarifikasi atas indikasi yang ditujukan. Klarifikasi yang harus disampaikan ini, memiliki batas waktu 30 hari sejak dijatuhkan status suspend.

Jika wajib pajak mampu membuktikan indikasi yang dijatuhkan kepadanya tidak benar, maka DJP akan mencabut status suspend.

Sebaliknya, jika wajib pajak gagal membuktikan atau tidak melakukan klarifikasi terkait pembuatan faktur pajak fiktif, DJP akan menjatuhkan sanksi hukum berupa pencabutan status PKP.

Jika melalui penyidikan wajib pajak diketahui menerbitkan faktur pajak fiktif, maka status PKP dicabut tanpa melalui proses suspend. Selain itu, wajib pajak akan langsung diproses hukum.

Sanksi Pidana Penerbitan Faktur Pajak Fiktif

Tindakan pembuatan atau penjualan faktur pajak yang tidak sah ini dilarang karena mengambil keuntungan atas sistem perpajakan di Indonesia. Tidak hanya memberi keuntungan terhadap pelaku, tetapi juga membuat kerugian negara.

Sanksi atas tindakan faktur pajak fiktir ini telah diatur dalam Pasal 39A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal tersebut menegaskan bahwa:

"Setiap orang yang dengan sengaja:

a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau

b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.”

Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui pelaku pembuat atau penjual faktur pajak palsu–atau yang memenuhi unsur 'tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya', –maka terhadapnya dikenakan pidana penjara minimal dua tahun dan maksimal enam tahun.

Pelaku juga dikenakan sanksi denda minimal dua kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak enam kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Namun, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, terdapat aturan yang memungkinkan penyidikan tindak pidana perpajakan, termasuk penerbitan faktur pajak fiktif, dihentikan.

Pada Pasal 44B UU 7/2021, demi kepentingan penerimaan negara melalui permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dapat dimintakan penghentian penyidikan tindak pidana. Penghentian itu dilakukan maksimal enam bulan sejak tanggal surat permintaan.

Faktur Pajak (Freepik)

Penghentian itu hanya dilakukan setelah wajib pajak atau tersangka faktur pajak fiktif melunasi jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sesuai aturan dalam Pasal 39A.

Kemudian terhadapnya dikenakan pula sanksi administratif berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Berikutnya, pada Pasal 44C UU 7/2021 tersebut menegaskan, pidana denda dalam Pasal 39A tidak dapat diganti dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana.

Jika tidak membayarnya dengan waktu maksimal satu bulan usai putusan pengadilan inkracht, jaksa akan melakukan penyitaan dan pelelangan harta kekayaan terpidana untuk membayar sanksi pidana denda tersebut. Jika hartanya tidak mencukupi, maka terhadap terpidana dikenakan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi pidana penjara utama.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara minimal dua tahun dan maksimal enam tahun.

Kemudian, terhadapnya juga dikenakan sanksi denda administratif yang nilainya dapat mencapai empat kali lebih banyak dari jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.