Kaharudin Ongko kembali ramai dibicarakan. Taipan era Orde Baru itu mencuat dalam deretan nama yang dikejar Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau Satgas BLBI.
Kabar teranyar, Satgas BLBI menyebutkan berhasil menyita dana lebih dari Rp 100 miliar dari Kaharudin Ongko. Bos Bank Umum Nasional (BUN) tersebut diketahui memiliki utang hingga Rp 8,2 triliun pada bank penerima BLBI tersebut, juga pada Bank Arya Panudarta.
Beberapa waktu lalu, Satgas BLBI memanggil Ongko untuk melunasi utang. Komposisi kreditnya terbagi menjadi dua, utang Rp 7,828 triliun dalam rangka penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) BUN, sedangkan Rp 359 miliar untuk membereskan PKPS Bank Arya Panudarta.
Kasus BLBI merupakan buntut dari krisis moneter 1998. Bermula dari upaya pemerintah menyelamatkan perekonomian dari tekanan nilai tukar dolar Amerika terhadap rupiah. Pada tahun itu, mata uang Garuda sempat terpuruk dari Rp 2.380 ke sekitar Rp 15.000 per dolar. Satu di antara buntutnya memicu aksi penarikan uang di bank secara besar-besaran oleh masyarakat.
Dalam sekejap likuiditas perbankan Tanah Air terkuras dan berujung pada macetnya kredit perbankan. Untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank-bank tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sepakat untuk menanggung beban bersama dengan menelurkan skema bantuan likuiditas.
Dana Moneter Internasional (IMF) juga meminta pemerintah Indonesia untuk menyuntikkan dana bantuan kepada sejumlah bank yang mengalami krisis. Kemudian, pada Desember 1998 Bank Indonesia menggelontorkan bantuan likuiditas kepada 48 bank Tanah Air melalui skema BLBI hingga Rp 144,53 triliun.
Namun, pada tahun 2000, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian negara sebanyak Rp 138,7 triliun dari penyaluran dana BLBI. Disusul hasil temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyimpulkan penyimpangan dana hingga Rp 54,5 triliun oleh 28 bank penerima bantuan likuiditas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, BUN masuk dalam daftar bank yang memperoleh injeksi dana BLBI pada saat krisis 1997-1999 lalu. Di samping itu, upaya penagihan utang BLBI yang menjerat Kaharudin Ongko juga sudah dilakukan sejak 2008. Namun, Ongko dinilai lamban memenuhi kewajibannya.
Untuk itu, Satgas BLBI telah menyita sekaligus mencairkan harta Kaharudin Ongko pada Senin (20/9). Harta tersebut tersimpan di salah satu bank swasta nasional dalam bentuk escrow account, sebuah rekening bersama yang dikelola pihak ketiga atau agen escrow.
Satgas BLBI mencatat, jumlah escrow account milik Kaharudin Ongko mencapai Rp 110 miliar. Jumlah tersebut terdiri atas escrow account dalam nominal rupiah sebesar Rp 664,9 juta dan dalam bentuk dolar AS sebesar US$ 7,6 juta atau setara Rp 109,5 miliar.
“Ini adalah escrow account yang kami sita dan cairkan. Hasil sitaan ini sudah masuk ke kas negara semenjak kemairn sore,” kata Sri Mulyani.
Selain menyita harta Ongko yang tersimpan di bank, Satgas BLBI masih mengejar kekayaan Ongko lainnya untuk melunasi utang Rp 8,2 triliun. Satgas juga akan memburu sejumlah barang yang sudah disampaikan Ongko sebagai barang jaminan.
Sementara itu, berdasarkan keterangan yang diperoleh Katadata.co.id dari Humas Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Ongko diketahui hadir dalam pemanggilan 7 September lalu dengan mengirim perwakilan.
Kaharudin Ongko, Taipan Keramik yang Masuk Bisnis Perbankan
Semula, Kaharudin Ongko -nama kecilnya Ong Ka Huat- bukan seorang bankir. Pria yang lahir di Kisaran, Sumatera Utara pada 14 Mei 1937 ini mengembangkan bisnis keluarganya. Dikutip dari Tempo, saat berusia 24 tahun, Ongko diminta orang tuanya untuk mengurus perusahaan warisan.
Rupanya, dia tidak bertahan lama di sana. Kaharudin justru mendirikan perusahaan sendiri, PT Kuala Bali. Dia juga memiliki pabrik Keramik Indonesia Asosiasi (KIA).
Di awal 1970-an, Ongko yang sudah meraih gelar MBA dari Taita University di Taiwan itu ditawari pamannya, Ong Chin Cho, untuk mengurus Bank Umum Nasional (BUN). Bank ini didirikan Partai Nasional Indonesia, termasuk mantan Presiden Soekarno, pada 1952.
Setahun kemudian, dia membeli saham pengendali BUN dari tangan Njoo Han Siang. Untuk itu, Ongko menyuntikkan dana US$ 2 juta pada 1972 dan mengambil alih BUN melalui perusahaannya PT Kedjajaan Budi. Sejak itu, dia menjadi Direktur Utama BUN.
Selama kepemimpinan Ongko, kinerja Bank Umum Nasional cukup positif dan mampu menjadi salah satu bank swasta terbesar di Indonesia pada era 1980-an. Bahkan, BUN berhasil melantai di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES) pada 12 Juli 1990 dengan kode saham BNUM.
Lalu, taipan lain, Bob Hasan, kemudian muncul dan membeli 40 % saham BUN pada 1991. Dengan kepemilikan tersebut, Bob Hasan menduduki bangku komisaris BUN. Sedangkan Ongko menjabat sebagai wakil presiden komisaris di bank tersebut.
Setelah itu, kinerja BUN di bawah kepemimpinan Ongko dan Bob malah menurun. BUN tak ubahnya seperti sapi perah kedua konglomerat tersebut. Tercatat, Ongko masih memiliki utang Rp 3,3 triliun kepada BUN, sedangkan utang Bob terhadap bank ini sekitar Rp 118 miliar.
Ketika badai krisis moneter menerjang Asia pada 1997, Bank Umum Nasional juga ikut terempas. Bank ini pun masuk kelompok lembaga keuangan yang diselamatkan negara melalui dana BLBI.
Siapa sangka dana yang diperoleh BUN untuk berjuang menghadapi dampak krisis moneter 1997 lewat skema BLBI justru diselewengkan. Seharusnya, dana itu dipakai untuk menalangi kas perbankan yang sedang tekor.
Ongko sempat menjadi terdakwa karena dianggap menyelewengkan dana BLBI untuk BUN. Namun pada Januari 2003 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskannya dari dakwaan penyalahgunaan dana BLBI. Hukuman hanya diberikan pada mantan Direktur Utama BUN Leonard Tanubrata yang divonis sepuluh tahun penjara.
Sebelumnya, Ongko dan Tanubrata masing-masing dituntut 14 dan 16 tahun penjara. Beberapa pihak, tulis Agus Pandoman dalam buku “Bantuan Likuiditas Bank Indonesia”, mengatakan bahwa seharusnya Kaharudin Ongko juga divonis hukuman karena memberi persetujuan atas penyaluran dana bank sekitar Rp 5 triliun ke anak usaha BUN yang kemudian macet.
Setelah Kaharudin Ongko dibebaskan di tingkat pengadilan negeri pada 2003, kejaksaan mendaftarkan berkas banding dalam perkara korupsi dana BLBI senilai Rp 6,7 triliun. Namun, putusan Mahkamah Agung pada 1 September 2004 menyatakan permohonan memori dari kasasi jaksa tidak dapat diterima.
Selain memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membebaskan Kaharudin Ongko, putusan MA sekaligus melepaskan Leonard Tanubrata dari segala tuntutan hukum. Kemudian pada 2005, kejaksaan mempertimbangkan mengajukan Peninjauan Kembali atas kasus korupsi BLBI Kaharudin Ongko.
Di luar kasus pidananya, kabarnya Ongko sempat berupaya melunasi utangnya yang mencapai Rp 8,2 triliun tersebut di awal 2000-an. Namun hingga kini belum berbuah manis, sampai Satgas BLBI akhirnya menyita Rp 110 miliar dana Kaharudin Ongko di escrow account pada pekan lalu.
Penyumbang bahan: Nada Naurah (Magang)