Tingginya harga batu bara acuan alias HBA pada November lalu meningkatkan cuan perusahaan emas hitam hingga kuartal ketiga 2021. Salah satunya yaitu perusahaan pertambangan PT Adaro Energy Tbk.
Perusahaan milik Garibaldi Tohir -kerap disapa Boy Thohir- itu berhasil meningkatkan laba perusahaan naik 280 % lebih menjadi US$ 465,2 juta, setara Rp 6,6 triliun, hingga September 2021. Di periode yang sama tahun lalu, ADRO hanya memperoleh laba US$ 120,6 juta atau Rp 1,731 triliun.
Laba ciamik Adaro diperoleh dari pertumbuhan pendapatan yang meningkat 31,5 % per September 2021. Pada September tahun lalu, perusahaan dengan kode saham ADRO ini membukukan pendapatan US$ 1,9 miliar, dan naik menjadi US$ 2,6 miliar atau setara Rp 37,18 triliun tahun ini.
Kinerja Keuangan PT Adaro Energy Tbk (dalam US$ juta) | |||
Keterangan | 9M2021 | 9M2020 | YoY (%) |
Pendapatan bersih | $ 2,569.00 | $ 1,954.00 | 31.47% |
Beban pokok pendapatan | $ (1,598.00) | $(1,492.00) | 7.10% |
Laba periode berjalan | $ 465.30 | $ 120.70 | 285.50% |
Total Aset | $ 7,118.00 | $ 6,471.00 | 10.00% |
Total Liabilitas | $ 2,794.00 | $ 2,582.00 | 8.21% |
Adaro, dari Perusahaan Spanyol Jadi Milik Boy Thohir
Lahirnya Adaro tidak lepas dari peristiwa pergolakan harga minyak dunia pada tahun 1970-an. Gejolak tersebut, kemudian direspons pemerintah Indonesia dengan merevisi kebijakan energi dan menyertakan batu bara sebagai sumber bahan bakar dalam negeri.
Kementerian Pertambangan kemudian membuka tender untuk delapan blok batu bara di Kalimantan Timur dan Selatan pada 1976. Tawaran atas tender ini datang hanya dari satu pihak, yaitu perusahaan pemerintah Spanyol yang bernama Enadimsa.
Perusahaan lain tidak memasukkan penawaran untuk kedelapan blok tersebut. Itu lantaran, lokasi pengeboran dianggap terlalu jauh di pedalaman dan memiliki kualitas batu bara yang rendah pada masanya.
BUMN Spanyol itu kemudian menandatangani kerja sama dengan pemerintah Indonesia pada 2 November 1982 dan lahirlah PT Adaro. Nama Adaro sendiri berasal dari keluarga Adaro yang mempunyai peran besar dalam perkembangan kegiatan penambangan di Spanyol selama beberapa abad.
Selanjutnya, Enadimsa lewat Adaro Indonesia melakukan eksplorasi dari 1983 sampai 1989, sampai konsorsium perusahaan Australia dan Indonesia membeli 80 % kepemilikan Adaro Indonesia dari Enadimsa.
Pada 2005, Boy Thohir membentuk konsorsium bersama pengusaha-pengusaha lain seperti Theodore Permadi Rachmat, Edwin Soeryadjaya, Sandiaga Uno, dan Benny Subianto. Konsorsium tersebut kemudian membeli saham Adaro Energy dari New Hope, perusahaan asal Australia. Bahkan, pada 2013, Boy memborong 2 juta lembar saham ADRO di harga Rp 950 per lembarnya.
Berdasarkan RTI Business, hingga akhir November 2021, Boy menguasai langsung 6,18 % saham ADRO. Sedangkan 43,9 % atau 14,04 miliar saham ADRO dimiliki sekaligus dikendalikan PT Adaro Strategic Investment. Di perusahaan ini, Boy juga menjadi pemegang saham terbesar.
Boy merupakan anak dari pemilik Astra Group, Muhammad Teddy Thohir, juga kakak dari Menteri BUMN, Erick Thohir. Pada 8 Desember 2020, Forbes mencatat nama Boy sebagai orang terkaya nomor 15 di Indonesia dengan harta US$ 1,65 miliar atau setara Rp 23,6 triliun. Kini, Adaro adalah perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia, setelah PT Kaltim Prima Coal.
Boy Thohir lahir pada 1 Mei 1965. Dia lulus dari Business Administration University of Southern California, AS pada 1988. Setahun kemudian, Boy memperoleh gelar MBA dari Northrop University, California, AS.
Kariernya mulai melejit ketika dia mendirikan PT WOM (Wahana Ottomitra Multiartha) Finance pada 1997. Dalam wawancara dengan Forbes Asia, Boy mengatakan WOM Finance merupakan salah satu investasi terbaiknya sebelum menaruh modal di Adaro Energy.
Jatuh Bangun Adaro Jualan Batu Bara
Produksi batu bara pertama Adaro dimulai dari tambang Paringin, yang memiliki nilai panas lebih tinggi dibandingkan tambang Tutupan. Selain itu, tambang Paringin memiliki lapisan penutup yang mengandung batu lumpur dan batuan keras yang cocok dalam konstruksi jalan.
Menjadi salah satu pionir perusahaan tambang batu bara, jalan Adaro tak selalu mulus. Untuk memulai pengembangan deposit batu bara, Adaro perlu mengumpulkan dana US$ 28 juta pada Mei 1990. Sejumlah bank pun didekati. Apa dikata, nyaris semua lemaga keuangan ini menolak memberikan pembiayaan.
Alasannya, batu bara sub-bituminus Adaro belum diperdagangkan dengan jumlah besar secara internasional. Begitu juga perdagangan domestiknya masih kecil pada saat itu.
Tak hanya itu, perbankan juga meragukan kelayakan konstruksi jalan untuk pengangkutan batu bara. Sepanjang 27 kilometer jalan yang akan dibangun Adaro memang melintasi daerah rawa. Secara perhitungan, pembangunan tersebut dapat menguras biaya konstruksi tinggi untuk bisa dianggap layak secara teknis.
Tak patah arang, Adaro akhirnya memperoleh dana pembangunan sebesar US$ 20 juta dari para pemegang saham. Syaratnya, sumber dana yang berlebih harus berasal dari arus kas perusahaan.
Pembangunan jalan sepanjang 27 kilometer di rawa dekat Sungai Barito pada September 1990 itu akhirnya selesai setahun kemudian. ADRO juga membangun sistem penghancuran, stock pilling, dan pemuatan tongkang 2 juta ton di Sungai Kelanis dimulai pada Maret 1991.
Eksplorasi batu bara pertama dimulai pada Maret 1991 di tambang Paringin yang memiliki lapisan tunggal setebal 30 meter. Batu bara pertama ini diuji pada run of mine stockpile (tempat penimbunan batu bara sementara) kemudian sampelnya dikirim ke Australia untuk uji pembakaran.
Dari uji sampel tersebut, ditemukanlah bahwa batu bara Adaro mengandung tingkat sulfur dan abu yang sangat rendah. Dengan karakteristik tersebut, Adaro menetapkan nama Envirocoal sebagai merek batu bara Adaro.
Krupp Industries dari Jerman menjadi pembeli pertama yang tertarik dengan karakteristik ramah lingkungan Envirocoal. Pada 22 Oktober 1992, sebanyak 68.750 ton Envirocoal berlayar ke Eropa dengan kapal perusahaan bernama MV Maersk Tanjong. Di tanggal yang sama, Adaro dinyatakan telah beroperasi secara komersial.
Pada awal bisnis komersialnya di 1992, Adaro hanya dapat memproduksi 1 juta ton batu bara. Namun, per September 2021, Adaro berhasil memproduksi hampir 40 juta ton batu bara. Meskipun begitu, dibandingkan tahun lalu, produksi batu bara Adaro cenderung menyusut 4%, begitupun total penjualan yang berkurang 5 % menjadi 38,86 juta ton per September 2021.
Anak Perusahaan Adaro
Dilansir dari paparan publik Adaro, perusahaan ini memiliki delapan pilar bisnis yang terbagi menjadi pilar utama dan supporting. Pada pilar utama ada Adaro Mining, yaitu usaha utama Adaro yang bergerak pada pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Pertambangan ini di bawah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) hingga 2022. Produk Adaro Mining adalah batu bara sub-bituminous dari tiga tambang: Paringin, Tutupan, dan Wara.
Di Kalimantan Timur, Adaro mempunyai kepemilikan atas PT Bhakti Energi Persada (BEP) yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk total area 34 ribu hektare di Kabupaten Muara Wahau, Kutai Timur. Adaro memegang 10,22 % kepemilikan atas BEP.
Selain di Kalimantan, Adaro memiliki anak perusahaan bernama PT Mustika Indah Permai (MIP) yang memegang IUP atas 2.000 hektare area konsesi di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. MIP memulai produksi komersial pada 2019, hingga berhasil memproduksi 1,31 juta ton dan menjual 1,28 juta ton batu bara. Adaro juga memiliki kepemilikan sebesar 61,04% atas PT Bukit Enim Energi (BEE) yang memegang IUP seluas 11.130 hektare di Muara Enim, Sumatera Selatan.
Tiga anak perusahaan utama lainnya adalah Adaro Logistics yang berfokus pada pengiriman batu bara, Adaro Services sebagai penyedia jasa pertambangan, dan Adaro Power yang bergerak dalam peningkatan pengembangan listrik.
Pada pilar supporting, terdapat Adaro Land yang berfokus pada aset pertanahan dan infrastruktur Grup Adaro. Di antaranya, Adaro Water yang membangun akses air bersih, Adaro Capital yang fokus mengurus transaksi bisnis perusahaan, dan Adaro Foundation sebagai program Corporate Social Responsibility (CSR) dari Grup Adaro.