Kinerja Adaro 2021 Membara Lewat Lonjakan Harga Batu Bara
Harga batu bara yang membara sukses mendongkrak cuan kinerja keuangan emiten pertambangan tahun ini. Salah satu produsen emas hitam itu yakni PT Adaro Energy Tbk. Perusahaan yang digawangi Garibaldi Thohir itu membukukan laba naik nyaris tiga kali per September 2021.
Lonjakan harga batu bara disambut pemerintah pada November kemarin untuk menaikkan harga batu bara acuan (HBA) ke level US$ 215,01 per ton. Angka tersebut menandai rekor HBA tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Kenaikan ini seiring datangnya musim dingin dan krisis batu bara di Cina yang mempengaruhi harga emas hitam di tingkat global.
Melansir Barchart.com, harga batu bara ICE Newscastle untuk kontrak Februari 2022 pada perdagangan Selasa (14/12) sempat menyentuh level tertinggi US$ 160 per ton. Adapun per 30 November 2021, harganya ditutup pada US$ 152 per ton, sehingga sudah terjadi kenaikan sekitar 5 % sepanjang Desember 2021.
Panasnya harga batu bara ini mendorong laba perusahaan dengan kode saham ADRO tumbuh 285,5 % menjadi US$ 465,2 juta atau setara Rp 6,6 triliun per September 2021. Penopangnya datang dari pendapatan yang naik 31,5 % menjadi US$ 2,6 miliar atau sekitar Rp 37,18 triliun. Itu didukung kenaikan harga jual rata-rata (ASP) batu bara per September 2021 sebanyak 42 % year on year (yoy).
Mengutip laporan keuangan Adaro, sepanjang periode Januari-September 2021, perusahaan membukukan pendapatan dari dua sumber, yakni penjualan batu bara dan jasa pertambangan. Pada kuartal ketiga 2021, Adaro mencatatkan kontribusi penjualan batu bara 95 % atau sekitar Rp 2,45 miliar terhadap total pendapatan.
Adapun kontribusi bisnis jasa pertambangan serta jasa sewa domestik sekitar 2,5 % dari total pendapatan perusahaan. Sedangkan pemasukan dari pihak berelasi dalam negeri hanya menyumbang 0,8 %.
Sementara penurunan terlihat drastis pada pemasukan dari jasa pertambangan domestik sebesar 29 %. Pada kuartal ketiga 2020, Adaro memperoleh pendapatan dari jasa pertambangan US$ 93,2 juta (Rp 1,337 triliun) dan merosot ke angka US$ 65,8 juta (Rp 945,2 miliar) di tahun berikutnya. Pendapatan dari jasa sewa juga menyusut 29 % menjadi US$ 895 ribu (Rp 12,84 miliar) pada triwulan ketiga 2021 dari tahun sebelumnya US$ 1,17 juta (Rp 16,81 miliar) di periode yang sama.
Kinerja Keuangan PT Adaro Energy Tbk per September 2021 (dalam US$ juta) | |||
Keterangan | 9M2021 | 9M2020 | YoY (%) |
Pendapatan bersih | $ 2,569.00 | $ 1,954.00 | 31.47% |
Beban pokok pendapatan | $ (1,598.00) | $(1,492.00) | 7.10% |
Laba periode berjalan | $ 465.30 | $ 120.70 | 285.50% |
Total Aset | $ 7,118.00 | $ 6,471.00 | 10.00% |
Total Liabilitas | $ 2,794.00 | $ 2,582.00 | 8.21% |
Peningkatan terbesar pendapatan Adaro diperoleh dari ekspor batu bara yang tumbuh 40,6 % per September 2021, menjadi US$ 1,96 miliar. Sementara itu, pemasukan dari penjualan batu bara domestik pihak ketiga dan berelasi juga mengalami peningkatan sekitar 18,7 % menjadi US$ 509,2 juta dari periode tahun sebelumnya US$ 429 juta dari pen.
Keran Produksi Adaro Seret Akibat Cuaca
Dalam laporan kinerja kuangan kuartal ketiga 2021, manajemen Adaro menyatakan permintaan batu bara masih tinggi selama periode tersebut. Hanya saja, perusahaan harus menghadapi tantangan seretnya suplai untuk memenuhi permintaan yang tinggi.
Sepanjang periode Januari - September 2021, Adaro mencatatkan penurunan produksi 4 % yoy atau sekitar 40 juta ton. Sementara dalam ketentuan panduan, produksi batu bara 2021 berada di kisaran 52-54 juta ton.
Manajemen Adaro menjelaskan, suplai tambang domestik turun akibat kendali keselamatan yang ketat dan cuaca buruk yang memengaruhi produksi batu bara, serta logistik kereta api di wilayah pesisir Utara dan Timur dari akhir Juli sampai awal Agustus. Akibatnya, tingkat persediaan tambang dan pelabuhan selama kuartal ketiga 2021 tertekan hingga ke rekor terendah dalam empat tahun terakhir.
Selain itu, tingkat persediaan yang kritis memicu Tiongkok untuk mengendalian distribusi listrik pada September. Alhasil, permintaan untuk batu bara termal domestik dan seaborne melonjak dan mendorong lonjakan harga.
Sementara itu, di India permintaan listrik melonjak, dan tingginya harga global serta musim hujan menyebabkan habisnya persediaan di pembangkit-pembangkit listrik yang disurvei. Di Asia bagian Timur Laut, permintaan batu bara juga tinggi menyambut masa pengisian persediaan untuk musim dingin.
Adapun dari sisi suplai, ketersediaan di luar Indonesia terhambat oleh cuaca yang kurang baik, peningkatan kasus Covid-19 dan keterbatasan alat berat. Pada Juli 2021, beberapa penambang terpaksa menyatakan keadaan memaksa (force majeure) dan mengubah jadwal pemuatan karena hujan.
Pada awal Agustus, Indonesia dilanda kekurangan batu bara, sehingga PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menerapkan larangan ekspor terhadap para produsen yang tidak dapat memenuhi DMO, sehingga ekspor sedikit terganggu selama beberapa hari.
Selain itu, suplai dari Australia terbatas karena wilayah New South Wales (NSW) mengalami lockdown Covid-19, sehingga membatasi operasi tambang dan pelabuhan Newcastle. Keterlambatan alat berat juga menghambat peningkatan produksi dari para penambang Australia. Produsen Rusia dan Afrika Selatan juga menghadapi masalah terkait angkutan kereta api, yang membatasi throughput pelabuhan.
Akibat berbagai faktor penghambat suplai, kinerja penjualan batu bara Adaro turun sebanyak 5 % yoy menjadi 38,86 juta ton hingga September 2021.
Di samping itu, aktivitas pengupasan lapisan penutup mencatatkan kenaikan 8 % dalam sembilan bulan pertama tahun ini, mencapai 173,03 Mbcm. Sedangkan untuk nisbah kupas di periode yang sama mencapai 4,36 kali. Manajemen mengklaim cuaca yang kurang baik turut memperlambat aktivitas pengupasan penutup.
Adapun kenaikan nisbah kupas maupun biaya penambangan, mendorong beban pokok pendapatan Adaor naik 7 % yoy menjadi US$ 1,6 juta. Hal itu dikarenakan adanya peningkatan harga bahan bakar dan pembayaran royalti akibat kenaikan harga jual rata-rata.
Kenaikan nisbah kupas per September 2021 mencapai 12 % yoy, karena volume pengupasan lapisan penutup 8 % lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Alhasil, kenaikan nisbah kupas per September 2021 sejalan dengan panduan kerja tahunan Adaro untuk meningkatkan nisbah kupas, sehingga memerlukan pengupasan lapisan penutup skala besar, dan biaya kas batu bara pun naik 8 % yoy.
Hijaunya Saham ADRO
Berdasarkan data statistik Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks saham sektor energi menjadi salah satu penopang kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tahun ini. Di mana, sepanjang 2021 saham sektor energi sudah tumbuh 39,3 %, Selasa (14/12).
Di antara 70 saham yang tergabung dalam indeks tersebut, Adaro turut berkontribusi dalam kenaikan indeks tersebut. Di mana, per Selasa (14/12) saham ADRO tumbuh 34,3 % ke level Rp 1.920 per lembar saham. Adapun kapitalisasi pasar emiten pertambangan ini sebanyak Rp 61,4 triliun, di mana investor asing melakukan aksi jual Rp 31,2 miliar di seluruh market, hari ini.
Saham ADRO sudah melantai di BEI sejak Juli 2008. Pada penawaran perdananya, Adaro melego 11,14 miliar lembar sahamnya dengan harga Rp 1.100 per lembarnya. Dari aksi korporasi tersebut, perusahaan berhasil mengantongi dana 12,25 triliun.
Dilansir dari RTI Business, pergerakan saham ADRO cenderung stabil di zona hijau dalam lima tahun terakhir, dengan kenaikan mencapai 66,9 %. Adapun per 30 November 2021, saham pengendali Adaro dipegang perusahaan induk, PT Adaro Strategic Investment sekitar 14 miliar lembar saham atau setara 43,9 % dari total saham keseluruhan. Sedangkan Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir memiliki 6,18% saham perusahaan atau setara 1,9 miliar lembar saham.