Gaung transisi energi terus memantul dalam pembicaraan publik. Sejumlah konferensi tingkat tinggi dunia mengajak para pengambil kebijakan untuk menanggalkan pemakaian bahan bakar fosil, termasuk dari batu bara, seperti dalam KTT G20 akhir tahun lalu.
Tentu tren peralihan ini sedikit banyak berimbas pada industri yang masih bertumpu pada energi hasil tertimbunnya sisa zaman purba tersebut. Namun di 2021, saat pandemi memukul ekonomi dunia, bisnis batu bara malah membara.
Musababnya, pagebluk telah mengubah rantai pasok dunia. Stok energi terbarukan defisit sehingga harganya mahal. Permintaan batu bara pun melonjak. Efek permintaan tinggi tersebut, nilai emas hitam ini naik. Pada November 2021, misalnya, harga batu bara acuan (HBA) US$ 215 per ton atau setara Rp 3 juta per ton.
Nilai batu bara di level tersebut menandakan rekor harga tertinggi sejak 2009. Salah satu perusahaan yang meraup untung dari fenomena kenaikan emas hitam ini yaitu Bayan Resources.
Setelah laba perusahaan turun 55 % pada 2019 menjadi US$ 234,2 juta -sekitar Rp 3,278 triliun- kinerja Bayan Resources pelan-pelan meningkat. Hingga kuartal ketiga 2021, laba perusahaan meningkat menjadi US$ 680,1 juta (Rp 9,521 triliun). Jumlah ini melonjak 97 % bila dibandingkan dengan laba perusahaan di akhir 2020.
Awal Perusahaan Kontraktor Menjadi Bayan Resources
Perusahaan ini bermula dari inisiatif Dato’ Dr. Low Tuck Kwong. Dia mendirikan PT Jaya Sumpiles Indonesia (JSI) pada 1973. Kala itu, JSI merupakan kontraktor pekerjaan tanah, pekerjaan umum, dan struktur kelautan. Sebagai perintis dalam pekerjaan pondasi tumpuk (pile foundation), JSI menjadi kontraktor kondang di era 80 hingga 90-an.
Pada 1988, JSI mulai melebarkan sayap di perusahaan pertambangan batu bara. Perubahan ini dimulai dengan mengakuisisi PT Gunungbayan Pratamacoal (GBP) dan PT Dermaga Perkasa Pratama (DPP).
Bayan Resources menjadi perusahaan terkemuka di Indonesia berkat karakteristik positif yang unik dari batu bara Tabang. Dilansir dari paparan publik perusahaan, material Tabang, menurut Wood Mackenzie, batu bara di sana memiliki nilai emisi CO2 terendah dari seluruh batu bara termal.
Kemudian, Wood Mackenzie juga menyatakan bahwa batu bara Tabang memiliki biaya produksi terendah di pasar batu bara thermal seaborne (diambil dari laut). Dengan kedua kelebihan ini, Bayan tetap optimis menjalankan usaha meski isu peralihan energi terbarukan semakin kuat di kancah global.
“Kami berharap batu bara Tabang akan menjadi salah satu last man standing di sektor batu bara termal yang dianggap sebagai sunset industry,” tulis Bayan Resources dalam paparan publiknya.
Tambang Bayan Resources
Menurut laman resmi perusahaan, Bayan Resources memiliki lima kontrak batu bara (Coal Contract of Work/CCOW) dengan 16 izin usaha pertambangan (IUP) seluas 126 ribu hektare di Kalimantan Timur dan Selatan. Saat ini, konsesi tersebut dibagi menjadi empat proyek pertambangan aktif.
Pertama, ada Tambang Teguh Sinar Abadi atau Firman Ketaun Perkasa (FKP). Tambang ini terdiri dari dua Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan batu bara (PKP2B) yang berada di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Tambang ini mulai beroperasi pada 2007 dan memproduksi tiga juta ton batu bara per tahun.
Kedua, Tambang Perkasa Inakakerta yang berada di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Sama seperti tambang sebelumnya, tambang ini sudah mulai produksi dari tahun 2007. Tambang ini memproduksi sekitar 1-2 juta ton batu bara kualitas sub-bituminus per tahun.
Ketiga, Tambang Tabang/Pakar yang terletak di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Tambang ini memiliki 12 IUP dengan produk batu bara sub-bituminus dengan kadar abu dan belerang yang sangat rendah. Dalam jangka panjang, tambang ini akan ditingkatkan produksinya hingga 50 juta ton per tahun.
Keempat, Tambang Wahana Baratama Mining di Kabupaten Satui, Kalimantan Selatan. Tambang ini sudah memproduksi batu bara dari tahun 2007 dengan kapasitas produksi 1-2 juta ton batu bara per tahun.
Hingga kuartal ketiga 2021, Bayan Resources sudah memproduksi 27,3 juta metrik ton. Batu bara ini dijual ke beberapa negara di Asia. Pembeli terbesarnya Filipina sebesar 28 % dari keseluruhan batu bara Bayan. Di posisi kedua Cina membeli 17 %, Korea 14 %, dan pasar domestik 11 %. Sementara yang diekspor ke India dan Malaysia 10 %, serta sisanya 10 % ke negara lain.
Founder Bayan Resources Asal Singapura
Sejarah singkat perusahaan batu bara ini tidak bisa dipisahkan dengan pendirinya, Dato’ Dr. Low Tuck Kwong. Pria kelahiran Singapura pada 17 April 1948 ini mulai mengadu nasib ke Indonesia pada 1972. Low mengganti kewarganegaraannya ke Indonesia (WNI) pada 1992.
Sebelum memulai bisnis pertambangan, ia sempat bekerja di perusahaan konstruksi ayahnya di Singapura. Namun keputusannya untuk membeli tambang batu bara di 1997 inilah yang mengantarkannya menjadi orang terkaya nomor 30 tahun 2014 versi majalah Forbes.
Kini Low memegang jabatan sebagai direktur utama Bayan Resources beserta anak-anak perusahaannya yang berada di bawah naungan Bayan Group. Ia juga memiliki sebagian besar saham BYAN, kode emiten tersebut di pasar modal, yang menjadikannya sebagai pemegang saham pengendali perusahaan.
Kinerja Saham Bayan Resources
Kinerja keuangan Bayan Resources yang cukup baik turut menopang performa sahamnya dalam setahun terakhir. Bahkan, perusahaan energi ini ikut berkontribusi terhadap tren kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) sepanjang 2021. Kini, BYAN memiliki kapitalisasi pasar (market cap) sebesar Rp 83,3 triliun.
Dilansir dari laman Bursa Efek Indonesia, sepanjang tahun lalu saham BYAN naik 71,2 % dan berada di level Rp 26.500 per lembar saham pada Rabu, 29 Desember 2021. Meskipun begitu, di jangka pendek saham BYAN cenderung terkoreksi, khsusunya dalam sebulan terakhir di mana harganya turun sekitar 4,6 %.
Bayan Resources sudah melantai di BEI sejak 12 Agustus 2008. Dalam penawaran saham perdana alias initial public offering (IPO), sebanyak 833,3 juta lembar saham ditawarkan dengan harga Rp 5.800 per saham. Alhasil, perusahaan mampu meraup dana segar sebesar Rp 4,83 triliun.
Per 30 November 2021, pemegang saham pengendali BYAN ada di tangan Dato’ Dr. Low Tuck Kwong. Low memegang 55,17 % saham BYAN atau setara dengan 1,8 miliar lembar saham. Di posisi kedua, publik menguasai 28,8 % saham perusahaan atau setara dengan 962,2 juta lembar saham.