Perusahaan umum Badan Urusan Logistik (Bulog) telah memperoleh mandat untuk mengimpor 200.000 ton beras hingga akhir 2022 untuk mengisi stok pemerintah. Walaupun Indonesia sempat swasembada, langkah impor beras seperti ini telah terjadi sejak 1950-an.
Bulog berencana untuk mengimpor beras lagi hingga 300.000 pada awal 2023. Perusahaan plat merah itu membeli beras dari Thailand, Pakistan, Vietnam, dan Myanmar. Data Badan Pusat Statistik (BPD) menyebut negara-negara ini merupakan sumber impor terbesar Indonesia dari tahun ke tahun
(Baca: Bulog Impor Beras 500.000 Ton dari 4 Negara, Vietnam Datang Pertama)
Walaupun selalu kontroversial, pemerintah telah mengimpor beras sejak 1950-an. Indonesia mengimpor kira-kira 400.000 ton beras antara 1951 dan 1955, berdasarkan data dari ekonom Faisal Basri, mengutip profesor ekonomi Australia National University (ANU) Pierre van der Eng.
Keputusan impor beras menandai keterlibatan pemerintah dalam pasar. Pemerintah mengimpor beras untuk mengamankan cadangan dan pasokan di dalam negeri ketika terjadi kekurangan. Di sisi lain, pemerintah juga mengendalikan impor untuk menjaga harga beras lokal dan dengan demikian melindungi petani.
Pemerintah mencapai tujuan ini lewat Bulog sejak 1964. Badan usaha milik negara (BUMN) ini melanjutkan peran dari Voedings Middelen Fonds (VMF), sebuah perusahaan pangan dari masa penjajahan Belanda.
Pada 1980-an, pemerintah berhasil menekan impor beras Indonesia, seiring dengan pencapaian swasembada. Pencapaian ini menyusul berbagai program pemerintah, termasuk investasi ke sistem irigasi dan pengembangan bibit produktif.
Namun Indonesia gagal mempertahankan swasembada tersebut. Pada 1999, impor beras memuncak di 4,8 juta ton, berdasarkan data dari Faisal, mengutip BPS. Ini terjadi ketika Presiden Bacharudin Jusuf Habibie sedang memimpin Indonesia untuk pulih dari krisis ekonomi pada 1997 dan 1998.
(Baca: Akar Persoalan Kisruh Rencana Impor Beras Bulog di Tahun Politik)
Walaupun hampir setiap pemerintahan melihat impor beras, tren volumenya cenderung menurun pada musim-musim kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres). Pada 2009, misalnya, impor beras turun 13,53% ke 250.473,1 ton dari tahun sebelumnya, berdasarkan data dari BPS.
Penurunan tersebut bertepatan dengan kampanye pemilihan kembali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 2009, SBY akhirnya memenangkan Pilpres dan dengan demikian memimpin Indonesia untuk dua periode antara 2004 dan 2014.
Politisi-politisi Indonesia memiliki kecenderungan untuk melindungi petani beras terhadap beras murah dari luar negeri yang bisa menurunkan harga gabah, menurut Jamie Davidson, profesor ilmu politik di National University of Singapore, dalam artikel jurnal “Rice Imports and Electoral Proximity: The Philippines and Indonesia Compared.”
Di luar musim kampanye, impor beras cenderung memicu kritik dan penolakan dari serikat petani, seperti yang terlihat saat mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengusulkan rencana impor beras pada 2021. Menyusul berbagai penolakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengganti Lutfi dengan Zulkifli Hasan.