Mahkamah Konstitusi memutuskan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) sebagai undang-undang tak melanggar ketentuan. ML menolak lima perkara yang menggugat undang-undang tersebut.
"Mengadili, menolak permohonan para permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan, Senin (2/10), dikutip dari Antara.
Kelima perkara yang ditolak adalah Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023, 50/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, dan 40/PUU-XXI/2023.Perkara Nomor 54, 41, 46, dan 50 mengajukan uji formil UU Cipta Kerja, sedangkan Perkara Nomor 40 mengajukan uji formil dan materi atas UU tersebut.
Mahkamah menilai permohonan para pemohon kelima perkara itu tidak beralasan menurut hukum. "Pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ucap Anwar membacakan konklusi.
Perjalanan UU Ciptaker
Cikal bakal UU Ciptaker bermula dari banyaknya regulasi yang ada di Indonesia. Menurut laman peraturan.go.id, jumlah regulasi per 2 Oktober 2023 mencapai lebih dari 57 ribu yang terdiri atas undang-undang hingga peraturan tingkat wali kota/bupati.
Situs Indonesia.go.id menulis, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas pada 2018 menyebut regulasi tumpang tindih serta ego sektoral institusi menjadi faktor penghambat terbesar bagi pertumbuhan ekonomi.
Merespon kondisi tersebut, pada 20 Oktober 2019 pasca-pelantikan Presiden Joko Widodo, ia memberikan pidato berisi gagasan soal omnibus law. Presiden menyebut, keberadaan undang-undang sapu jagat dapat menyederhanakan kendala regulasi yang berbelit.
Jokowi ketika itu berencana menggandeng DPR untuk menggodok UU Cipta Lapangan Kerja serta UU Pemberdayaan UMKM. Harapannya, omnibus law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang.
Kedua, omnibus law diharapkan dapat memperkuat perekonomian nasional dengan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global. “Masing-masing UU tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa UU lainnya, bahkan puluhan UU,” kata Jokowi dikutip dari Indonesia.go.id.
Menurut Kamus Hukum Merriam-Webster, istilah omnibus law berasal dari omnibus bill. Ini merujuk pada aturan yang mencakup berbagai isu atau topik. Kata "omnibus" berasal dari bahasa Latin yang berarti "segalanya".
Omnibus law atau omnibus bill diajukan pemerintah kepada DPR untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Konsep ini sebenarnya berusia cukup tua. Di Amerika Serikat (AS) tercatat omnibus law pertama kali dibahas pada 1840.
Kembali ke Indonesia, sekitar 82 UU yang terdampak keberadaan omnibus law tersebut.. Pemerintah lalu mengajukan draf omnibus law ke DPR pada Desember 2019.
Usai mengajukan kepada DPR, Presiden meminta kepada Ketua DPR Puan Maharani agar pembahasan omnibus law selesai dalam waktu tiga bulan. "Saya sudah bisik-bisik, kalau bisa jangan lebih dari tiga bulan," ujar Jokowi ketika itu.
Dibahas DPR
Omnibus law baru mulai dibahas DPR pada Rapat Paripurna ke-13 yang terlaksana pada 2 April 2020. Kemudian dalam rapat konsultasi pengganti Badan Musyawarah (Bamus) DPR menyerahkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) pada Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Baleg lalu membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU Ciptaker pada 14 April 2020, yang terdiri atas 35 orang anggota dan lima orang pimpinan Baleg DPR. Panja kemudian mengawali kerjanya pada 27 April 2020 dengan menggandeng sejumlah ahli, pakar dan akademisi terkait. Termasuk di dalamnya dari asosiasi profesi, pengusaha dan juga serikat buruh.
Enam bulan berselang, DPR kemudian mengesahkan Rancangan RUU Ciptaker menjadi undang-undang melalui rapat paripurna yang terlaksana pada 10 Oktober 2020. Dalam rapat tersebut hanya dua dari sembilan fraksi yang tetap menolak RUU itu, yaitu Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat.
RUU Cipta Kerja tetap disahkan menjadi UU, karena mayoritas fraksi di DPR dan pemerintah sepakat. Usai disahkan menjadi UU, Jokowi menandatangani aturan tersebut pada November 2020.
Gelombang Penolakan
Munculnya penolakan dari masyarakat soal UU Ciptaker ini sudah ada sejak tiga tahun lalu. Bahkan pada Oktober 2020, golongan masyarakat yang terdiri atas mahasiswa dan pekerja melakukan demo di Jakarta untuk menuntut agar pemerintah membatalkan omnibus law dan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU atau Perppu.
Sejumlah pasal dianggap bermasalah. Pasal tersebut mencakup soal ketenagakerjaan, pendidikan, pers hingga lingkungan hidup.
Dikutip dari Tirto.id, menurut Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja berisi pasal-pasal yang dapat mengancam hak setiap orang untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, serta bertentangan dengan prinsip non-retrogresi dalam hukum internasional.
Tak hanya itu, sejumlah perubahan terkait cuti, penghapusan pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, perubahan isi dari Pasal 11 UU Pers yang berpotensi mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi jurnalis, hingga potensi kriminalisasi terhadap penyelenggara pendidikan Pesantren dalam UU Ciptaker.
Golongan serikat buruh dan pekerja, masyarakat, mahasiswa lalu mengajukan judicial review atau uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sepanjang 2021, MK telah melakukan uji materi terhadap UU Ciptaker sebanyak 11 kali.
Tersandung Keputusan MK
Setahun setelah diajukan, pada November 2021 MK kemudian menyatakan menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 itu inkonstitusional bersyarat.
MK menilai UU tersebut cacat formil lantaran dalam proses pembahasannya tidak sesuai dengan aturan dan tidak memenuhi unsur keterbukaan. Pada putusan itu, MK memberi waktu pada pembuat UU untuk memperbaiki isinya dalam jangka dua tahun sejak putusan dibacakan.
Hal ini menegaskan jika dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.
Menanggapi putusan MK, Presiden Joko Widodo kemudian menerbitkan Perppu Ciptaker pada 30 Desember 2022 lalu. Perppu diperlukan untuk merespons situasi global dan nasional yang memerlukan langkah-langkah strategis.
"Penentuan keadaan genting itu merupakan hak subjektif Presiden yang nanti akan dijelaskan dalam proses legislasi pada masa sidang DPR berikutnya," ujar Mahfud pada 30 Desember lalu.
Penerbitan Perppu ini menuai protes beberapa kalangan seperti buruh dan mahasiswa, hingga. Buruh bahkan berencana untuk mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi jika Perppu Ciptaker sah. Buruh menggelar demonstrasi untuk menolak aturan ini.
UU Ciptaker Berlanjut
Meskipun sejumlah golongan masyarakat menunjukkan reaksi keras, namun DPR bersikukuh menerapkan Perppu sebagai prioritas pembahasan pada masa sidang awal 2023.
Pemerintah juga berkomunikasi dengan Baleg untuk menggolkan Perppu Ciptaker. Namun, pembahasan Perppu Ciptaker masih tarik-menarik antar partai politik.
Di saat masa pembahasan Perppu Ciptaker muncul gejolak di partai pendukung pemerintah. Salah satunya, hubungan Partai Nasional Demokrat (NasDem) dengan pemerintah merenggang.
Pembahasan Perppu Ciptaker secara resmi baru dimulai pada Februari 2023. Rapat dengan ahli yang biasanya terjadwal juga terpaksa masuk dalam agenda mendadak di Senayan. Rapat Baleg dan pemerintah menghasilkan kesepakatan untuk melanjutkan Perppu Cipta Kerja ke paripurna.
Sebanyak tujuh fraksi menyetujui Perppu Ciptaker untuk disahkan menjadi undang-undang. Namun, dua fraksi, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Fraksi Demokrat menyatakan menolak.
Perppu Ciptaker kemudian secara resmi berubah menjadi undang-undang usai disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna ke-19 Masa Sidang IV tahun sidang 2022-2023.
Gejolak penolakan terhadap UU Nomor 6 Tahun 2023 ini terus berlanjut. Tak tinggal diam pasca disahkan, Partai Buruh kemudian menyerahkan syarat-syarat pendaftaran uji formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja secara daring pada 1 Mei lalu. Mereka optimistis Mahkamah Konstitusi bisa mengabulkan keberatan tersebut.
Koordinator Kuasa Hukum Partai Buruh Said Salahudin mengatakan permohonan uji formil yang dilayangkan Partai Buruh lebih spesifik, rinci, dan komprehensif dibandingkan pihak lain. "Dalil dan argumentasi kami juga tidak sama dengan beberapa pemohon sebelumnya yang sudah masuk ke Mahkamah Konstitusi," kata Said di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (3/5).
Namun berdasarkan hasil putusan uji materi, MK menolak permohonan uji materi dari para pemohon. Menurut Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum menyatakan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945