PT Nara Hotel Internasional Tbk masih belum bisa mencatatkan sahamnya di pasar modal. Pasalnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) masih melakukan pemeriksaan secara mendalam terhadap penjamin emisi (underwriter) dan perusahaan.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menjelaskan pihaknya bersama OJK masih mengaudit untuk memastikan proses penawaran umum, termasuk penyampaian keterbukaan informasi kepada publik telah sesuai dengan ketentuan.
"Kami masih melakukan pemeriksaan terhadap underwriter dan emiten secara mendalam, diharapkan akan dapat informasi yang komprehensif sehingga bisa mengambil keputusan yang objektif," kata Nyoman, kepada awak media di Jakarta, Kamis (13/2).
Sebetulnya Nara Hotel sudah memiliki jadwal IPO pada Jumat (7/2). Namun ditunda lantaran banyak investor ritel yang memprotes kebijakan penjatahan terpusat (plotting allotment) saham perusahaan.
(Baca: Kisruh Penjatahan Saham IPO, Nara Hotel: Sudah Ikut Aturan OJK dan BEI)
Berdasarkan keterangan resminya, perusahaan menjelaskan bahwa pembelian saham Nara Hotel oleh investor ritel sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal itu termasuk juga dengan bentuk dan isi prospektus.
"Kami sudah audiensi dengan pihak OJK dan BEI. Intinya, kami tunduk pada aturan dan ketentuan OJK dan Bursa," kata Direktur Utama Nara Hotel, Adrianus Daniel Sulaiman.
Perusahaan menjelaskan tata cara pemesanan pada surat penawaran umum pada 3 - 4 Februari 2020, sudah memenuhi syarat dan peraturan yang berlaku. Syarat tersebut yaitu setiap calon investor mengisi surat Formulir Pemesanan Pembelian Saham (FPPS) dan persyaratan administratif lainnya.
Namun Nara Hotel memang telah merevisi prospektusnya. Prospektus pertama terbit pada 8 Januari 2020, sedangkan prospektus revisi terbit 3 Februari 2020. Perbedaan dari kedua prospektus tersebut terkait protes investor ritel yakni soal penjatahan terpusat.
(Baca: Nara Hotel, Perusahaan dengan Lonjakan Aset 821% yang Tertunda IPO)
Pada prospektus versi 8 Januari penjatahan terpusat saham dibatasi sampai dengan jumlah maksimum 1% dari jumlah saham yang ditawarkan. Sedangkan pada prospektus versi revisi, penjatahan terpusat dibatasi sampai dengan jumlah paling sedikit atau minimum 1% dari jumlah saham yang ditawarkan.
Sehingga investor ritel yang melakukan pemesanan, mendapatkan jatah saham sesuai dengan yang dipesan. Adrianus menjelaskan bahwa protes investor ritel terkait dengan penjatahan terpusat yang hampir 99% terpenuhi tersebut sebagai protes yang aneh.