Beberapa waktu terakhir ini, isu saham gorengan ramai dibicarakan. Saham gorengan yang dimaksud yaitu saham dengan volatilitas harga yang tinggi, meski tidak didukung oleh fundamental maupun prospek bisnis yang bagus.
Analis Artha Sekuritas Nugroho Fitriyanto mengatakan, saham gorengan adalah saham yang pergerakan harganya tidak mencerminkan supply dan demand di pasar. "Alias di dalamnya ada manipulasi permintaan dan penawaran," katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (14/1).
Selain itu, ciri-ciri saham gorengan biasanya memiliki volume transaksi yang juga sangat volatil. Biasanya saham tersebut minim ditransaksikan, namun tiba-tiba transaksinya melonjak signifikan. Hal tersebut biasanya diikuti dengan pergerakan saham yang cukup liar, bisa naik drastis atau kebalikannya.
Namun pergerakan saham tersebut tidak didukung oleh fundamental yang baik seperti kinerja keuangan perusahaan yang negatif dan sebagainya. "Harganya bisa terbang tinggi yang biasanya hanya didorong oleh rumor ataupun isu," katanya.
(Baca: BEI Catat ada 41 Saham yang Terindikasi 'Gorengan' Sepanjang 2019)
Sementara itu analis Binaartha Sekuritas, M. Nafan Aji Gusta Utama menjelaskan saham gorengan biasanya merupakan saham-saham yang berada di lapis kedua atau ketiga.
Dia menyebutkan biasanya likuiditas saham-saham tersebut tidak tinggi, namun ketika digoreng, likuiditasnya melonjak tinggi. "Saham yang biasanya tidak likuid, lalu likuiditasnya melonjak tinggi, patut dicurigai sebagai saham gorengan," kata Nafan.
Realitanya, saham-saham dengan nilai kapitalisasi pasar yang kecil kerap menjadi target spekulan untuk digoreng lantaran lebih mudah dikendalikan agar melonjak signifikan. Sedangkan saham dengan kapitalisasi besar biasanya lebih sulit untuk digoreng.
Menyikapi Saham yang Diduga Gorengan
Bursa Efek Indonesia (BEI) sebenarnya selalu mengawasi pergerakan harga saham. Jika terjadi perubahan harga yang signifikan, naik ataupun turun, BEI akan memasukkan saham tersebut ke dalam daftar Unusual Market Activity (UMA).
(Baca: Menelusuri Investasi Asabri yang Terpuruk di Saham Gorengan)
Namun masuknya saham ke daftar UMA tidak berarti emiten telah melanggar aturan pasar modal. UMA bertujuan untuk memberikan lampu kuning kepada investor dalam agar berhati-hati dalam mentransaksikan saham yang telah masuk daftar tersebut.
Bursa menyarankan agar investor memperhatikan beberapa aspek seperti mencermati kembali kinerja perusahaan melalui keterbukaan informasi, mengkaji rencana aksi korporasi, ataupun prospek bisnis di industri emiten tersebut, sebelum mengambil keputusan investasi.
Sedangkan Nafan menyarankan sebaiknya investor menghindari saham-saham yang masuk daftar UMA jika tidak didukung fundamental dan tidak ada sentimen kuat. "Ketika gorengan sudah selesai, nanti harga saham akan jatuh signifikan. Akan merugikan kepentingan investor," ujarnya.
Senada, Nugroho juga menyarankan agar investor umum tidak cepat tergiur untuk membeli saham-saham gorengan karena kenaikan harganya yang sangat signifikan dalam waktu yang singkat untuk mendapatkan capital gain. Pasalnya ada juga investor yang tertarik mengoleksi saham seperti ini demi meraih keuntungan cepat.
(Baca: BEI Buka Peluang Hapus Biaya Transaksi Market Maker di Saham Pilihan)
"Karena (ada kemungkinan) pergerakan saham tersebut dimanipulasi, kita tidak pernah tahu skenario apa yang sedang dimainkan para manipulator tersebut," katanya.
Sehingga, tidak sedikit investor yang kemudian masih memegang saham perusahaan tersebut karena tidak ingin rugi walaupun harga sahamnya sudah menyentuh level terendahnya Rp 50 per saham. "Dengan kata lain jadi korban manipulator," katanya.