PT Bahana Sekuritas memprediksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi menyentuh level 6.800 poin pada akhir 2019. Prediksi ini dibuat berdasarkan proyeksi pertumbuhan laba emiten Bursa Efek Indonesia (BEI) sebesar 13,4%.
Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi mengatakan, pertumbuhan laba emiten-emiten bursa tersebut dua kali lipat dibandingkan rerata pertumbuhan laba dalam sembilan tahun terakhir yang sebesar 6,6%. "Saat ini IHSG ditransaksikan dengan price earning (P/E) ratio 13,5 kali. Target IHSG 6.800 berdasarkan P/E 15,5 kali yang didukung pertumbuhan laba yang tinggi," kata Lucky dalam Media Gathering Bahana Sekuritas, di Jakarta, Kamis (23/5).
Beberapa sektor yang dinilai akan menopang pergerakan IHSG sepanjang tahun ini adalah sektor infrastruktur, industri dasar, dan perbankan. Sektor infrastruktur mendapatkan sentimen positif dari kepastian berlanjutnya pembangunan proyek-proyek infrastruktur pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kebutuhan pendanaan infrastruktur untuk lima tahun ke depan mencapai US$ 412 miliar atau sekitar Rp 5.768 triliun. Hal ini akan memastikan perusahaan-perusahaan konstruksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai target kumulatif kontrak (order book) untuk menggarap proyek-proyek infrastruktur. Pembangunan infrastruktur juga akan mendorong permintaan terhadap semen.
Emiten perbankan turut terangkat oleh sentimen positif keberlangsungan proyek infrastruktur ini karena pada 2014-2018 mereka gencar memberi pendanaan ke sektor ini. Di sisi lain, likuiditas perbankan semakin ketat sehingga mereka akan lebih selektif dalam penyaluran kredit. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), loan to deposit ratio (LDR) industri perbankan pada akhir April 2019 mencapai 93%, turun 100 bps dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 94%.
(Baca: Menentukan Arah Investasi Pasca-Pemilu 2019)
Dampak Perang Dagang AS-Tiongkok
Meski prospek bursa cukup cerah, ada faktor eksternal yang harus diwaspadai. Dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-Tiongkok terhadap perekonomian Indonesia. AS dan Tiongkok merupakan mitra dagang utama yang menyumbang 25% dari total ekspor Indonesia.
Sektor-sektor yang diperkirakan terkena dampak negatif perang dagang adalah emiten batu bara, tekstil, perkebunan, kertas, dan logam. "Emiten logam paling rapuh karena memiliki bantalan yang paling rendah untuk mengatasi perlambatan ekonomi Tiongkok," ujarnya.
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan, dampak perang dagang terhadap perekonomian Indonesia sangat serius. "Ekspor dalam empat bulan terakhir pertumbuhannya negatif, ini belum pernah terjadi sebelumnya," kata Satria. Sejak Januari hingga April 2019, ekspor Indonesia ke Tiongkok minus 11% sedangkan ekspor ke AS minus 5,23%.
(Baca: Kemendag: Defisit Neraca Dagang karena Pelemahan Permintaan Global)
Di sisi lain, perlambatan ekonomi AS dan Tiongkok akan menurunkan permintaan terhadap minyak dunia sehingga harga minyak juga akan turun. Bahana memprediksi harga rata-rata minyak Brent tahun ini bisa menyentuh US$ 50 per barel. Indonesia sebagai net importir minyak akan diuntungkan dengan pelemahan harga minyak ini.
Secara umum, ekonomi Indonesia secara fundamental dinilai masih kuat. Pertumbuhan ekonomi akan ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Investasi juga akan membaik karena ketidakpastian politik memudar setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 pada 21 Mei lalu.
(Baca: Situasi Jakarta Kondusif, IHSG Kembali ke Level 6.000)