Bursa Efek Indonesia (BEI) bakal memanggil jajaran direksi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk minggu depan. Pemanggilan tersebut terkait dengan laporan keuangan 2018 maskapai berpelat merah itu. Dua komisaris Garuda menganggap laporan tersebut tidak sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).
Direktur Utama BEI Inarno Djajadi mengatakan, Bursa ingin meminta klarifikasi kepada direksi Garuda. Namun, ia belum bisa memastikan kapan tepatnya pemanggilan tersebut.
Ia juga belum memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan Bursa kepada perusahaan berkode saham GIAA itu. "Tidak tahu (apakah disuspen atau tidak) karena terlalu dini. Kami mau klarifikasi saja laporan keuangannya," kata Inarno kepada Katadata.co.id, Kamis (25/4).
(Baca: Dua Komisaris Garuda Indonesia Menilai Perusahaan Harusnya Merugi)
Berdasarkan data dari RTI Infokom hingga pukul 14.33 WIB, saham Garuda hari ini sudah terkoreksi 5,60% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Harganya berada di level Rp 472 per saham. Selama sebulan terakhir harga saha, Garuda sudah terkoreksi hingga 11,40%.
Dua Komisaris Garuda Tolak Laporan Keuangan 2018
Dua Komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, menyoroti pencatatan akuntansi pada laporan kinerja keuangan perusahaan tahun buku 2018. Mereka menilai pencatatan akuntansi dalam laporan keuangan tersebut tidak sesuai dengan standar pencatatan akuntansi. Alhasil, mereka menolak untuk menandatangani laporan keuangan tersebut.
Mereka menilai, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs: Rp 14.100 per dolar AS). Namun, di dalam laporan keuangan malah tercatat memiliki laba tahun berjalan senilai US$ 5,01 juta setara Rp 70,76 miliar.
(Baca: RUPST Garuda Indonesia Rombak Susunan Pengurus Komisaris dan Direksi)
Keberatan mereka didasarkan pada perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditandatangani oleh anak usaha Garuda Indonesia, yakni PT Citilink Indonesia dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata). Menurut mereka, komitmen dari Mahaka yang sebesar US$ 239,94 juta tidak dapat diakui sebagai pendapatan dalam tahun buku 2018.
Jumlah tersebut termasuk pendapatan dan piutang Mahata terhadap PT Sriwijaya Air sebesar US$ 28 juta ditambah PPN sebesar US$ 2,8 juta yang merupakan bagian bagi hasil Garuda Indonesia. Seperti diketahui, perjanjian pengadaan wifi antara Mahata dengan Citilink diperluas ke Grup Garuda Indonesia. Sriwijaya saat ini merupakan bagian dari grup tersebut.
Laporan Keuangan Garuda Indonesia Menyesatkan
Berdasarkan dokumen yang didapatkan oleh awak media tertanggal 2 April 2019, sikap kedua komisaris tersebut didasarkan kepada tidak ada pembayaran yang telah dilakukan oleh Mahata meskipun telah terpasang satu unit alat wifi di Citilink. Bahkan dalam perjanjian dengan Mahata, tidak tercantum ketentuan pembayaran atau term of payment karena pada saat itu kedua pihak masih bernegosiasi tentang tata cara pembayaran.
Selain itu, menurut Chairal dan Dony, sampai sekarang tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali (seperti bank garansi atau instrumen keuangan yang setara) dari pihak Mahata kepada Garuda Indonesia. Padahal, jaminan pembayaran tersebut merupakan instrumen yang menunjukkan kapasitas Mahata sebagai perusahaan yang bankable. Mahata hanya memberikan Surat Pernyataan Komitmen Pembayaran Biaya Kompensasi.
(Baca: Dugaan Kartel, KPPU Dalami Rangkap Jabatan Direksi Garuda di Sriwijaya)
Dalam Perjanjian Mahata juga terdapat pasal pengakhiran yang menyatakan Citilink dapat mengakhiri sewaktu waktu dengan alasan bisnis. Padahal, menurut Penyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) nomor 23, dapat diterimanya pendapatan harus diukur dengan pendapatan tetap atau jaminan yang tidak dapat dikembalikan dalam suatu kontrak yang tidak dapat dibatalkan.
Menurut mereka, dengan pengakuan pendapatan seperti itu berdampak pada laporan keuangan tahun buku 2018 yang seharusnya membukukan kerugian yang signifikan menjadi laba. Terlebih Garuda merupakan perusahaan publik atau terbuka, ada potensi yang sangat besar atas penyajian kembali laporan keuangan tersebut yang dapat merusak kredibilitas perusahaan.
Dampak lainnya, pengakuan pendapatan ini menimbulkan kewajiban perpajakan, baik pajak penghasilan maupun pajak pertmbahan nilai yang belum waktunya. Tentu, menurut kedua komisaris ini, hal ini dapat menimbulkan beban arus kas (cashflow) bagi perusahaan.
Laporan Tahunan Tetap Disetujui
Meski dua komisaris tidak mau menandatangani laporan keuangan tersebut, namun dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Garuda Indonesia yang digelar pada kemarin di Hotel Pullman, Jakarta, dapat menerimanya.
Ditemui usai RUPST, Chairal menjelaskan, saat acara berlangsung, ia sebenarnya sudah meminta untuk dibacakan surat keberatan. Namun, pimpinan rapat Agus Santoso yang merupakan Komisaris Utama yang juga sebagai Komisaris Independen menilai surat tersebut tidak perlu dibacakan.
"Tadi di rapat minta untuk dibacakan. Tapi, pimpinan rapat menilai tidak perlu dibacakan karena (surat keberatan) sudah ada dalam laporan komisaris dan dilekatkan di laporan tahunan," kata Chairal.
Kondisi itu membuat laporan keuangan 2018 Garuda tidak mengalami perubahan karena sudah diterima dan disetujui oleh RUPST. Hanya ada “sedikit” catatan perbedaan pendapat antara dua komisaris dengan pihak pengurus perusahaan lainnya.
(Baca: Tingkatkan Investasi dan Koneksi, BUMN Akan Bentuk Holding Penerbangan)
Dalam RUPST tersebut, pemegang saham memutuskan memberhentikan Donny secara terhormat dari kursi komisaris. Dony mengatakan, masa jabatannya sebagai komisaris sudah habis. "Karena sudah lima tahun," ujarnya usai RUPST.
Sebagai informasi, Chairal merupakan perwakilan pemegang saham dari PT Trans Airways, sementara Dony merupakan perwakilan dari Finegold Resources Ltd. Mereka secara total memiliki 28,08% saham.
Laporan keuangan tahun 2018 Garuda Indonesia diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Independen Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan (BDO). Mereka memberikan opini pada laporan keuangan tersebut wajar tanpa pengecualian.