Penjualan Naik, Krakatau Steel Tekan Kerugian jadi Rp 1 Triliun

Agung Samosir|Katadata
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Ekarina
1/4/2019, 19.34 WIB

Produsen baja terintegrasi, PT Krakatau Steel Tbk. (KRAS) mencatat penurunan rugi bersih sebesar 8,48% pada 2018 menjadi US$ 74,82 juta atau sekitar Rp 1,05 triliun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US$ 81,74 juta (Rp 1,15 trilun). Penurunan itu antara lain dipicu oleh meningkatnya volume penjualan dan harga jual. 

Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan, sepanjang 2018 perusahaan mencatat kenaikan pendapatan bersih sebesar 20% menjadi US$ 1,73 miliar dibandingkan tahun sebelumnya. Sejalan dengan itu, perseroan juga membukukan peningkatan volume penjualan 12,84% menjadi 2,14 juta ton baja dibanding tahun sebelumnya 1,9 juta ton.

Di sisi lain, kinerja perseroan sepanjang 2018 juga ikut terbantu oleh kenaikan harga jual produk baja. "Ini adalah salah satu ciri, bahwa pasar baja domestik membaik,” ujar Silmy melalui siaran resmi, Senin (1/4).

Menurut data perusahaan, rata-rata harga jual produk baja jenis Hot Roll Coil (HRC) pada 2018 berhasil meningkat 10,03% menjadi US$ 657 per ton diikuti jenis Cold Roll Coil (CRC) naik 6,72% menjadi US$ 717 per ton, dan Wire Rod meningkat 15,03% menjadi US$ 635 per ton.

Silmy menyebut, selain mempengauhi perusahaan induk, sejumlah perusahaan asosiasi dan joint venture KS  juga mengalami perbaikan kinerja dengan menyusutnya rugi bersih menjadi sekitar US$ 5,31 juta pada tahun lalu, dibandingkan 2017 sebesar US$ 41,24 juta. 

(Baca: Pemerintah Akan Revisi Bea Masuk Anti Dumping Bermuatan Besi Plat)

Perseroan melakukan upaya perbaikan kinerja Perseroan agar lebih sehat dan tumbuh secara berkesinambungan. Beberapa upaya yang dilakukan berupa penyelesaian proyek strategis, transformasi sales dan marketing, program efisiensi biaya melalui pola operasi yang optimal, optimalisasi aset, dan program restrukturisasi keuangan.

Terkait proyek pembangunan pabrik Hot Strip Mill 2 , Silmy menyebut konstruksi fisik pabrik ini telah mencapai 91,52% per 31 Desember 2018 dan diharapkan bisa meramoungkan proses mechanical completion pada triwulan II-2019. Setelah beroperasi, pabrik ini akan menghasilkan tambahan produksi sebanyak 1,5 juta ton baja HRC per tahun.

Sementara proyek Blast Furnace sudah dilakukan penyalaan perdana pada 20 Desember lalu, dan saat ini sedang tahap persiapan uji coba (commissioning).

Ke depan, Silmy berharap kinerja perusahaan dapat meningkat. Terlebih, perusahaan telah meneken kesepakatan dengan BUMN karya terkait penggunaan baja dalam negeri  pada beberapa proyek yang dijalankan oleh pemerintah, seperti proyek jalan tol layang Jakarta-Cikampek (Japek) II Elevated Toll Road.

Dengan adanya perjanjian tersebut, Krakatau Steel telah memasok sekitar 151 ribu ton baja per Desember 2018.

Sentimen Positif Industri Baja

Selain itu, pada 2019,  perseroan juga optimistis bisa meningkatkan porsi ekspor HRC/P sebesar  650 ribu ton  ke beberapa negara seperti Malaysia dan India. Pada Maret 2019, sebanyak 12.000 ton HRC/P telah diekspor ke Malaysia, seiring dengan kebijakan otoritas setempat yang menyatakan dicabutnya aturan anti dumping bagi Indonesia karena ketiadaan produsen HRC di Malaysia.

(Baca: Dirundung Kasus Suap, Krakatau Steel Pastikan Bisnis Tak Terganggu)

Tak hanya itu, adanya revisi Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) nomor 22 tahun 2018 menjadi Permendag 110 tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja juga diharapkan bisa memberi sentimen postif lain terhadap kinerja perseroan.  Dalam aturan baru tersebut, pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian yang sebelumnya tidak ada, kini kembali diadakan.

"Dengan adanya revisi aturan ini diharapkan semakin mendorong geliat pasar baja dalam negeri dan mengendalikan baja impor," kata Silmy menambahkan.

(Baca: Produsen Baja Diminta Genjot Ekspor ke Malaysia dan Australia )

Selain itu, perpanjangan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk HRC yang diimpor dari berbagai negara seperti Tiongkok, India, Rusia, Kazakhstan, Belarusia, Taiwan, dan Thailand juga diharapkan bisa menggairahkan industri baja.

Perpanjangan BMAD tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 25/PMK.010/2019 tentang yang akan mulai berlaku pada 2 April 2019 sampai 5 tahun ke depan.

Reporter: Ihya Ulum Aldin