Saham PT Perusahaan Gas Negara (PGN) turun sejak mengakuisisi anak perusahaan PT Pertamina, yaitu PT Pertamina Gas (Pertagas) pada 29 Juni 2018 lalu. Meski sempat naik pascapengumuman akuisisi, sahamnya merosot sejak 3 juli 2018. Hingga penutupan perdagangan kemarin (5/7), sahamnya sudah turun 295 poin atau 16,2% dari Rp 1.820 pada 3 Juli menjadi Rp 1.525.
Akuisisi perusahaan berkode emiten PGAS terhadap Pertagas, merupakan bagian dari pembentukan induk usaha (holding) BUMN sektor minyak dan gas. Ini ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Jual Beli Saham Bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement/CSPA) dengan Pertamina yang diteken pada Jumat pekan lalu.
Anggota Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) Reza Priyambada mengatakan sebenarnya Pelaku pasar tidak mempermasalahkan akuisisi itu. Pasar sudah memprediksi seperti apa kondisi PGN setelah mengakusisi Pertagas. (Baca: Tiga Rencana Kerja PGN Setelah Akuisisi Pertagas)
PGN mengungkapkan total nilai akuisisi 51% saham Pertagas sebesar Rp 16,6 triliun. Sekitar Rp 10 triliun hingga Rp 11 triliun akan bersumber dari dana pinjaman, sisa dari kas perusahaan. Nilai akuisisi ini mempengaruhi sentimen negatif pasar terhadap saham PGN. Pelaku pasar menilai harga akusisinya terlalu besar. Mereka seperti terkena shock therapy dan langsung melakukan aksi jual.
"Padahal, tidak semua anak usaha Pertagas akan masuk dalam akusisi ini. Kalau tidak salah, anak usaha Pertagas di bidang logistik, tidak dimasukan," kata Reza kata kepada Katadata.co.id, Kamis (5/7).
Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan mengkritisi soal harga akuisisi yang begitu mahal. Kedua perusahaan ini dimiliki pemerintah. Artinya, dana akuisisi itu nantinya juga masuk ke pemerintah. Dengan nilai akuisisi yang besar, PGN harus meminjam dana yang besar pula. Pelaku pasar khawatir utang dapat menambah beban keuangan PGN.
"Seharusnya bisa dengan harga yang lebih murah, supaya ini menjadi insentif bagi pemegang saham publik PGN. Toh, ini dananya untuk pemerintah yang juga pemegang saham PGN," ujarnya. (Baca: PGN Cari Pinjaman Hingga Rp 11 Triliun untuk Lunasi Akuisisi Pertagas)
Dalam keterangan S&P yang dikutip dari Bloomberg, akuisisi Pertagas secara subtansial dapat melemahkan neraca keuangan PGN. Lembaga pemeringkat utang Standard and Poors (S&P) memberikan predikat kredit jangka panjang "BBB-" pada PGAS pada kategori creditwatch berimplikasi negatif. Peringkat tersebut disematkan sejak Rabu (4/7).
Alfred menilai, pemberian rating ini cukup wajar lantaran pembiayaan akuisisi Pertagas dibebankan sepenuhnya kepada PGN. Menurutnya, agar tidak terlalu membebani keuangan PGN, akuisisi Pertagas dilakukan dengan mekanisme penambahan saham baru (right issue). "Harusnya menggunakan right issue, agar ruang geraknya PGN ke depan bisa semakin besar" katanya.
Reza juga menilai pendanaan melalui skema right issue yang bisa membuat saham PGN kembali menanjak. Ini karena tidak terkait dengan kinerja keuangan PGN, hanya jumlah lembar sahamnya bertambah. "Memang di awal harga sahamnya cenderung melemah, itu karena kosekuensi yang harus diterima karena perusahaan right issue. Tapi saya pikir itu cukup masuk akal dibandingkan harus berutang," ujar Reza.