Dana Asing di Bursa Saham Diprediksi Beralih ke Pasar Obligasi

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Penulis: Miftah Ardhian
14/9/2017, 19.39 WIB

Dalam tiga bulan terakhir, arus dana asing yang keluar (capital outflow) dari pasar saham Indonesia terus mengalir deras. Namun, ada kemungkinan dana tersebut tidak benar-benar kabur dari Indonesia, melainkan beralih (shifting) ke pasar obligasi.

Direktur PT Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency/IPBA) Wahyu Trenggono mengatakan tren keluarnya dana asing dari pasar saham Indonesia diperkirakan sebagai aksi ambil untung (profit taking) dan mengalihkan dana tersebut ke instrumen investasi lainnya, khususnya ke pasar obligasi. 

(Baca: Dana Asing di Pasar Keuangan Rp 130 T, Lebih Rendah dari Tahun Lalu)

"Indikasinya (shifting ke pasar obligasi) sangat kuat," ujar Wahyu saat acara pelatihan media, di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (14/9). Meskipun demikian, dirinya mengakui bahwa pihak yang mengetahui secara pasti adanya shifting atau keluarnya dana asing dari Indonesia hanyalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan.

Wahyu menjelaskan beberapa alasan yang menguatkan analisanya bahwa dana asing tersebut tidak meninggalkan Indonesia. Pertama, cadangan devisa (cadev) yang tercatat di Bank Indonesia (BI) tercatat terus mengalami kenaikan, bahkan terus mencapai rekor baru.

Per akhir Juli kemarin, cadev berada di level US$ 127,7 miliar, kemudian naik lagi pada akhir Agustus menjadi US$ 128,8 miliar. Kenaikan Cadev ini bahkan dinilai Wahyu menunjukan adanya investor asing baru yang masuk ke Indonesia, melalui pasar obligasi. 

"Kalau naik malah artinya ada investor asing lain yang masuk, hanya langsung ke pasar obligasi," ujarnya. (Baca: Berkat Ekspor Migas, Cadangan Devisa Cetak Rekor Baru US$ 128,8 Miliar)

Kedua, dari sisi pasar sahamnya sendiri, Wahyu menilai, investor ini tidak memiliki informasi baru yang akan menggerakkan harga saham. Laporan keuangan perusahaan sudah dirilis dan dividen pun sudah dibagikan. Artinya, tidak ada sentimen baru yang akan muncul sehingga investor memutuskan melakukan aksi jual.

Kondisi ini pun diperkirakan akan bertahan hingga Oktober 2017, saat perusahaan sudah harus melaporkan kinerjanya kembali kepada publik. Namun, terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi, yakni melakukan shifting kembali ke pasar saham atau tetap di pasar obligasi karena sentimen yang cukup baik.

Kondisi makro ekonomi domestik yang baik juga akan membuat dua instrumen investasi tersebut akan menarik minat investor. "Tapi kalau dua-duanya positif, kenapa mereka harus melewatkan kesempatan tersebut," ujarnya.

Analis IBPA Roby Rushandie menambahkan adanya shifting dana asing ke pasar obligasi semakin dikuatkan dengan performa nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing yang cenderung stabil, bahkan menguat. Padahal, apabila banyak terjadi capital outflow, nilai tukar rupiah seharusnya terdepresiasi.

"Jadi ada indikasi shifting terlihat dari nilai tukar rupiah yang cenderung stabil bahkan menguat di Rp 13.00-13.200 per dollar AS," ujarnya. (Baca: Kurs Rp 13.100 per Dolar AS, Tertinggi dalam 10 Bulan Terakhir)

Indikasi ini juga dikuatkan oleh perilaku investor yang setelah menjual saham, akan terus mencari instrumen investasi lainnya. Salah satu pilihan yang paling menguntungkan adalah masuk ke pasar obligasi. Alasannya, imbal hasil (yield) yang diberikan cukup menarik.