Pemerintah berencana menaikkan tarif bea materai menjadi Rp 10 ribu dari yang sebelumnya Rp 3 ribu dan Rp 6 ribu. Tidak hanya itu, transaksi di surat berharga akan dikenakan tarif bea materai ini juga mulai 1 Januari 2020. Kebijakan ini dinilai bisa menggerus transaksi efek di pasar modal.
Rencana aturan ini tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Bea Materai. Pasal 3 Ayat 2 mengatur salah satu dokumen yang bersifat perdata dan harus dikenakan bea materai adalah surat berharga.
Dalam penjelasan Pasal 3 Ayat 2 Huruf d, surat berharga yang dimaksud antara lain saham, obligasi, cek, bilyet giro, aksep, wesel, sukuk, surat utang, warrant, option, deposito, dan sejenisnya, termasuk surat kolektif saham atau sekumpulan surat berharga lainnya.
"Sebagai contoh, penerbitan 100 lembar saham yang dituangkan dalam 1 surat kolektif saham, maka Bea Meterai hanya terutang atas surat kolektif sahamnya saja," seperti dikutip dari RUU tersebut.
Rencana penerapan bea materai tersebut pada perdagangan di pasar saham, dinilai tidak tepat karena akan menyulitkan investor. Terlebih, bagi investor ritel yang melakukan transaksi dengan nilai kecil, tapi tetap dikenakan bea materai.
"Kan kita sedang berusaha membangun masyarakat yang sadar investasi. Kalau beli saham kemudian dikenakan materai Rp 10 ribu, sama saja kita mengharapkan mereka tidak transaksi saham," kata Direktur PT Anugrah Mega Investama Hans Kwee kepada Katadata.co.id, Jumat (11/9).
Menurutnya, tidak semua pelaku pasar modal merupakan orang yang kaya. Sehingga rencana penerapan bea materai ini akan menimbulkan konsekuensi berupa pengereman transaksi, terutama investor pemilik dana kecil. Sedangkan bagi pemilik dana yang lebih besar, bisa mengurangi frekuensi transaksinya.
"Efek penurunan frekuensi transaksi di pasar modal, akan merugikan sekuritas, menurunkan likuiditas pasar, dan tentu tidak bagus untuk perekonomian nasional," kata Hans.
Menurutnya, transaksi di pasar modal sudah cukup memberikan pendapatan kepada negara dengan dikenakan pajak final sebesar 0,1%. Tidak perlu lagi negara mengutip pungutan lain di bursa efek. Hans berharap pemerintah memikirkan kembali pengenaan bea materai untuk setiap transaksi di pasar modal.
Senada dengan Hans, analis CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan rencana pengenaan bea materai terhadap transaksi surat berharga ini bisa membawa sentimen negatif. Pelaku pasar dipastikan keberatan jika biaya transaksinya bertambah. Dampaknya akan berpengaruh pada aktivitas transaksi.
Dia menilai urgensi pengenaan bea materai di pasar modal saat ini belum ada. "Memang cuma materai Rp 10 ribu. Tapi, namanya pelaku pasar, pasti perhitungan kalau soal biaya-biaya," kata Reza.
Pekan lalu pemerintah dan Komisi XI DPR menyelesaikan pembicaraan tingkat satu revisi Undang-undang Bea Materai. Selanjutnya, draft RUU tersebut akan dibawa ke sidang paripurna. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, perubahan tersebut akan mulai berlaku pada 1 Januari 2021.
"Jadi tidak berlaku secara langsung pada saat diundangkan," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Kamis (3/9).
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan alasan perubahan UU Bea Materai, karena selama ini belum pernah direvisi. Padahal, seharusnya ada penyetaraan perpajakan atas dokumen. Dalam revisi UU Bea Materai ini Menkeu juga berharap dokumen dalam bentuk digital juga bisa dikenakan pajak. Tujuan lain revisi UU Bea Materai yakni pengoptimalan tarif yang sudah sejak 34 tahun lalu belum berubah.
Meski begitu, Sri Mulyani mengatakan revisi UU bea Materai akan tetap memberi kemudahan kepada UMKM. Salah satu kemudahan tersebut yakni pembebasan materai pada dokumen dengan nilai di bawah atau sama dengan Rp 5 juta. "Ini adalah salah satu bentuk pemihakan yang tadinya di atas Rp 1 juta harus memakai materai," ujarnya.
Menurutnya, tujuan revisi UU Bea Materai adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi dokumen elektronik. Dengan begitu, akan ada ketegasan dalam memakai materai elektronik sesuai dengan perkembangan teknologi.