Geliat Ekonomi & Uang Kripto Bikin Transaksi Saham di Bursa Susut 11%
Aktivitas di Bursa Efek Indonesia (BEI) menurun signifikan sepanjang pekan lalu, 19-23 April 2021. Terbukti, rata-rata harian nilai transaksi saham hanya Rp 8,65 triliun atau turun 11,3% dari pekan sebelumnya senilai Rp 9,76 triliun.
Berdasarkan data BEI, aktivitas yang minim juga tergambar dari rata-rata volume transaksi harian Bursa. Selama sepekan, rata-rata volume transaksi mengalami penurunan 5,95% menjadi 14,765 miliar saham dari 15,699 miliar saham pada pekan sebelumnya.
Data rata-rata frekuensi transaksi harian pun menurun 12,44% menjadi 897.876 kali transaksi. Padahal pada pekan sebelumnya, rata-rata frekuensi transaksi mencapai 1.025.495 kali transaksi.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono W. Widodo mengatakan ada beberapa faktor penyebab penurunan aktivitas di pasar modal Tanah Air. Seperti faktor ekonomi yang mulai bergerak meski pandemi Covid-19 masih menghantui di seluruh negara.
"Ekonomi yang mulai bergerak ini membuat banyak uang di investor ritel yang diputar balik ke sektor riil," kata Laksono kepada awak media beberapa waktu yang lalu.
Terlihat dari sektor manufaktur yang semakin ekspansif seiring meningkatnya pertumbuhan produksi dan permintaan baru. Indeks manufaktur atau Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Maret 2021 mencapai 53,2. Ini merupakan rekor tertinggi dalam satu dekade pengumpulan data.
Selain adanya pengalihan strategi investasi ke sektor riil, Laksono menilai ada faktor kompetisi dengan mata uang digital alias cryptocurrency. Meski begitu, Laksono mengatakan hal ini baru kemungkinan karena belum ada data konkret terkait dengan perpindahan atau persaingan tersebut.
Namun, Laksono secara pribadi menyatakan kekhawatirannya terhadap kehadiran cryptocurrency atau biasa dikenal uang kripto tersebut. Ia khawatir karena investor ritel mulai menginvestasikan dananya ke uang kripto walau belum tahu secara pasti seberapa besar penetrasinya di Indonesia.
Analis Bahana Sekuritas Muhammad Wafi mengatakan, uang kripto cukup berisiko untuk dijadikan instrumen investasi. Pasalnya mata uang digital ini tidak memiliki aset yang mendasarinya (underlying asset).
"Berbeda dengan saham yang jelas aset tetapnya. Kita beli kepemilikan atas perusahaan yang fisiknya ada," kata Wafi dalam Market Movers, podcast Katadata.co.id dan KBR episode 2, Senin (26/4).
Uang kripto dinilai hanya sebatas transaksi mata uang digital. Itu yang membuat uang kripto tidak masuk BEI tapi uang kripto masuknya bursa berjangka. Dengan tidak adanya underlying asset, membuat sifat dari investasi memiliki risiko yang tinggi.