BEI: Bursa Karbon Indonesia Terealisasi Lebih Cepat Daripada Malaysia

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/tom.
Pemerintah secara resmi meluncurkan bursa karbon atau jual beli kredit karbon (carbon credit) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (26/9).
26/9/2023, 16.39 WIB

Bursa Efek Indonesia (BEI) optimis perdagangan karbon di Indonesia akan berkembang di masa depan. Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menilai permintaan atau demand terbilang sangat baik untuk ukuran bursa karbon yang baru diluncurkan.

"Bursa karbon negara tetangga (Malaysia) butuh waktu dua tahun untuk direalisasikan, Indonesia hanya butuh delapan bulan," kata Jeffrey saat ditemui wartawan di Gedung Bursa Efek Indonesia, Selasa (26/9).

Jeffrey juga menyebut bursa karbon negara tetangga butuh persiapan selama tiga bulan sebelum resmi bertransaksi, sementara di Indonesia saat peluncuran sudah bisa melaksanakan transaksi. "Di hari pertama mereka hanya 150.000 ton, sedangkan Indonesia hampir tiga kali lipat di hari pertama. Kita syukuri pencapaian ini," kata Jeffrey.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar juga membandingkan jika negara tetangga perlu waktu 1,5 tahun sampai 2 tahun sejak dibentuknya regulator untuk bisa menterjemahkannya dalam bentuk konkret bursa karbon.

Mahendra juga menambahkan, bursa karbon Indonesia akan menjadi bursa karbon besar, dan terpenting di dunia karena volume maupun keragaman unit karbon yang akan diperdagangkan. "Hari ini, kita memulai sejarah dan awal era baru itu," ujar Mahendra pada pidato sambutannya dalam pembukaan Bursa Karbon Indonesia di Bursa Efek Indonesia, pada Selasa (26/9).

Untuk diketahui, bursa karbon merupakan sebuah sistem yang mengatur pencatatan cadangan karbon, perdagangan karbon, dan status kepemilikan unit karbon.

Bila mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim. Dalam Pasal 1 ayat (6) disebutkan, perdagangan karbon adalah jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.


Reporter: Patricia Yashinta Desy Abigail