Perang Dagang AS-Tiongkok Berpotensi Menuju Perang Mata Uang

123RF.com/Nat Bowornphatnon
Ilustrasi yuan Tiongkok. Untuk perkama kalinya dalam lebih dari satu dekade, Tiongkok membiarkan yuan melemah hingga melewati level 7 per dolar AS pada Senin (5/8).
Penulis: Agustiyanti
6/8/2019, 16.17 WIB

Tiongkok kemungkinan baru saja memicu perang mata uang dengan Amerika Serikat (AS) di tengah berlarut-larutnya perang dagang antara kedua negara. Untuk perkama kalinya dalam lebih dari satu dekade, Tiongkok membiarkan yuan melemah hingga melewati level 7 per dolar AS pada Senin (5/8).

Dikutip dari CNN, Bank Sentral Tiongkok mengatakan pelemahan yuan mencerminkan kekhawatiran pasar tentang proteksionisme perdagangan dan tarif baru dengan Tiongkok.

Presiden Donald Trump meningkatkan tensi perang dagang pekan lalu dengan mengumumkan bahwa Amerika Serikat (AS) akan mengenakan pajak hampir pada setiap ekspor Tiongkok. Namun, dengan membiarkan yuan melemah ke level terendah dalam satu dekade terakhir, Tiongkok memberikan sinyal jelas: Mereka siap menggunakan mata uangnya sebagai senjata dalam perang dagang dengan Washington.

"Fakta bahwa mereka telah berhenti menjaga level yuan melewati 7 per dolar AS menunjukkan bahwa mereka mengabaikan harapan terhadap perang dagang dengan AS," ujar Julian Evans Pritchard, Senior Ekonom China pada Capital Economics.

(Baca: Trump Tuding Tiongkok Manipulasi Mata Uang)

Saat ini, banyak pelaku pasar yang menunggu respon AS. Perang mata uang, menurut dia, dapat menghantam konsumen dan bisnis, memicu inflasi, serta membuat harga aset anjlok.

"Perdebatan tentang internvensi (mata uang) AS akan memanas secara signifikan," ujar Kit Juckes, Ahli Strategi pada Societe Generale.

Presiden AS Donald Trump secara cepat merespons tindakan China melalui akun Twitter-nya dengan menuding negara tersebut melakukan manipulasi mata uang.

Trump sebelumnya sudah sering mengeluhkan bahwa Tiongkok mendevaluasi mata uangnya untuk membuat negara tersebut lebih kompetitif, meski ketika itu tak memiliki bukti. Kini, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang akan dilakukan Trump.

(Baca: Dampak Perang Dagang, Tiongkok Setop Pembelian Produk Pertanian AS)

Dalam beberapa minggu terakhir, Trump bersikeras bahwa intervensi mata uang yang dilakukan AS sejauh ini masih dalam batas wajar. Pada Juli, ia membantah klaim penasihat ekonomi utamanya, Larry Kudlow bahwa Gedung Putih mengesampingkan tindakan langsung untuk melemahkan dolar AS.

"Saya tidak mengatakan bahwa tidak akan melakukan sesuatu," ujar Trump.

Langkah untuk melemahkan dolar AS dapat menjadi terobosan penting dari kebijakan pemerintahan Trump dan akan memiliki konsekuensi yang lebih luas, baik di dalam maupun luar negeri. Mata uang yang lebih lemah dapat meningkatkan ekspor, tetapi juga membuat impor lebih mahal yang dapat menyebabkan inflasi dan mengurangi belanja.

Harga yang lebih tinggi dapat memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga dan memukul pertumbuhan ekonomi.

(Baca: Kurs Rupiah Melemah Tembus 14.300 per Dolar AS, BI Intervensi Pasar)

Pola pelemahan mata uang ini juga bisa menyebar secara global jika negara lain memutuskan untuk membalas. Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya volatilitas dan ketidakpastian ke pasar keuangan karena dapat memicu nilai aset properti dan saham turun.

"Anda memiliki neraca yang mulai terlihat sangat, sangat buruk," kata Miguel Chanco, Ekonom Senior Asia pada Pantheon Macroeconomics.

Dengan melemahkan dolar, menurut dia, pemerintahan Trump secara resmi mengumumkan berakhirnya kebijakan penguatan dolar AS yang diperkenalkan pada 1995 di bawah mantan Presiden Bill Clinton.

Trump juga dapat mengarahkan Departemen Keuangan untuk bekerja dengan Federal Reserve Bank New York untuk menjual dolar dalam upaya untuk menurunkan nilainya.

Namun, ia tak berpikir Trump bergerak ke arah itu kendati berharap pernyataan keras tetap keluar dari Gedung Putih.

(Baca: Tiga Menteri Ekonomi Pesimistis Target Pertumbuhan 2019 Tercapai)

Keputusan untuk membiarkan pelemahan yuan oleh Tiongkok, sebuah fakta yang dapat semakin memperumit pembicaraan perdagangan dan membuat kesepakatan dengan AS kian sulit.

Yuan tidak diperdagangkan secara bebas seperti mata uang utama lainnya. Setiap hari, bank sentral China menetapkan batas pergerakan nilai yuan hingga 2% naik atau turun. Terakhir kali yuan diizinkan untuk mencapai 7 terhadap dolar adalah saat krisis keuangan 2008.

Depresiasi mata uang dapat membantu Cina mengurangi dampak tarif baru AS dengan menjaga ekspornya terjangkau di AS. Namun, devaluasi dapat menekan ekonomi domestik.

Penurunan besar dalam yuan juga bisa memicu arus keluar uang dari Tiongkok dan merusak stabilitas ekonomi.

Menurut Institute of International Finance, China mengalami arus modal keluar dari negaranya pada 2015 mencapai US$680 miliar. Itu adalah terakhir kali China menimbulkan ketakutan pasar dengan melemahkan yuan dan memicu perang mata uang.