Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengubah ketentuan terkait Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) yang dikenakan kepada bank. Bobot risiko kredit beragunan rumah tinggal diubah supaya kredit properti terasa lebih fleksibel bagi pengembang.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, melalui Surat Edaran OJK tentang ATMR ditetapkan bahwa persentase aktiva tertimbang untuk bank umum konvensional maupun syariah lebih luwes tergantung kepada besaran rasio loan to value (LTV) yang disalurkan.
Saat ini, besaran ATMR kredit perumahan ditetapkan sama untuk semua bank dengan rasio LTV yang berbeda-beda. Ke depan, apabila rasio LTV oleh bank 20% maka ATMR yang dikenakan paling tinggi 50%. Untuk LTV 25% maka ATMR yang dikenakan berkisar 50% - 70%. Jika rasio 35% maka dibanderol dengan ATMR di antara 70% - 100%.
Heru menuturkan pula bahwa ketetuan soal ATMR merupakan bagian rangkaian kebijakan baru OJK. Paket kebijakan ini bertujuan melonggarkan aturan pembiayaan di sektor properti sehingga ekspansi kredit lebih optimal.
“Termasuk di dalam (paket kebijakan) itu menghapus larangan pemberian kredit pengolahan tanah bagi pengembang rumah tinggal,” kata Heru, di Jakarta, Rabu (15/8).
(Baca juga: Paket Kebijakan OJK, Obat Kuat Pendorong Perekonomian)
OJK turut mengubah Peraturan tentang Pembatasan Pemberian Kredit untuk Pengadaan Tanah oleh Pengembang Perumahaan. Di dalam POJK baru dinyatakan, pengembang hunian bisa memperoleh kredit bank sejak masih dalam tahap pembebasan tanah.
Beberapa syarat ditetapkan otoritas. Pertama, kredit konstruksi yang diajukan developer harus ditujukan untuk pembangunan rumah tapak atau susun, bukan kawasan komersil. Kedua, pembangunan hunian harus direalisasikan paling lambat satu tahun sejak tanggal penandatanganan perjanjian kredit.
"Syarat terakhir, pencairan kredit atau pembiayaan dilakukan secara bertahap berdasarkan perkembangan proyek yang dibiayai," ujar Heru.
Selain itu, otoritas juga menyesuaikan diri kepada Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Hal ini dimuat dalam POJK tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum untuk Mendorong Pertumbuhan Sektor Perumahan dan Peningkatan Devisa.
Beleid tersebut mengatur adanya kenaikan batas nilai agunan yang harus dinilai oleh penilai independen dari Rp 5 miliar menjadi Rp 10 miliar. "Meringankan persyaratan penilaian agunan sebagai faktor pengurang Penyisihan Penghapusan Aset (PPA)," imbuh Heru.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan, pelonggaran peraturan di sektor properti ini diberlakukan dengan mempertimbangkan portofolio Kredit Perumahan Rakyat (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) porsinya hanya Rp 428,7 triliun atau sekitar 8,8% dari total outstanding kredit per Mei tahun ini.
Apabila ditarik rentang waktu selama tiga tahun terakhir diketahui, pertumbuhan KPR dan KPA memperlihatkan kondisi stagnan. "Berdasarkan data dari Kementerian PUPR, diperkirakan backlog perumahan di Indonesia mencapai 13,5 juta unit," tutur Wimboh.
Yang pasti, relaksasi kredit untuk pengembang properti diterapkan otoritas ini ditujukan untuk mendukung kebijakan Bank Indonesia terkait KPR melalui pelonggaran rasio LTV per Agustus 2018 sehingga memunculkan rencana menghadirkan program uang muka 0%.