Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menilai relaksasi kebijakan batas maksimum nilai kredit atau Loan to Value (LTV) oleh Bank Indonesia (BI) bisa mendukung terealisasinya Program Sejuta Rumah. Kebijakan ini bisa menggenjot penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
“Kalau untuk perumahan, ini memang untuk program satu juta rumah. Ini hal yang patut kita dukung, tapi dampaknya kami belum tahu seperti apa,” ujar Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Lana Winayanti di Shangri-La Hotel, Jakarta pada Kamis (12/7).
Menurut Lana, besaran uang muka menjadi hal yang sangat penting bagi calon pembeli rumah menggunakan KPR. Hal itu yang membuatnya optimistis relaksasi kebijakan LTV dapat menggenjot pertumbuhan industri properti. (Baca: Bank BUMN Tak Akan Buru-Buru Terapkan Uang Muka 0% untuk KPR)
Ada banyak industri yang terlibat dalam sektor properti yang akan terdampak positif dengan adanya kebijakan yang mulai berlaku pada 1 Agustus mendatang ini. “Kalau kita lihat, pembiayaan rumah ada di hilir. Mulai dari tata ruang, perizinannya, pengembangan kontruksi, dan saat ini telah melibatkan 174 industri properti,” katanya.
Hingga akhir tahun lalu, realisasi program sejuta rumah hanya mencapai 904 ribu unit, terdiri dari 697 ribu rumah bersubsidi dan 224 ribu rumah nonsubsidi. Sedangkan, realisasi program sejuta rumah di 2016 hanya 805 ribu unit.
(Baca: Pengembang Keluhkan Dukungan Pemerintah dalam Program Sejuta Rumah)
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Filianingsih Hendarta mengatakan setelah kebijakan berjalan bulan depan, pertumbuhan KPR akan semakin tinggi. Saat ini pun sebenarnya pertumbuhan KPR sudah cukup besar. Per Mei 2018, pertumbuhan KPR sudah mencapai 12,75%, sebelumnya hanya 6,21%.
“Berdasarkan tipe, pertumbuhan KPR tertinggi terjadi pada jenis apartemen tipe 22-70 dan di atas tipe 70, serta rumah tapak tipe 22-70 dan di atas tipe 70,” katanya pada kesempatan yang sama.
Menurut Filianingsih, saat ini masih ada ruang untuk meningkatkan pertumbuhan pembiayaan di sektor properti. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah siklus pembiayaan rumah melalui KPR masih belum mencapai puncak.
(Baca: Kredit Macet Rendah dan Uang Muka Murah Akan Genjot Pinjaman KPR)
Hingga akhir Mei 2018, BI mencatat pembiayaan di sektor properti sebesar Rp 840,3 triliun atau meningkat 11,4% dibanding periode yang sama tahunlalu. Dari total tersebut, 88,3% atau Rp 741,7 triliun pembiayaannya berasal dari dalam negeri. Kemudian dari Utang Luar Negeri (ULN) sebesar Rp80,6 triliun atau 9,6% dan Surat Berharga Dalam Negeri sebesar Rp18 triliun atau 2,1%.
"Bisa dilihat kalau pembiayaan masih tinggi, justru meningkat 11,4%. Jadi bisa dipastikan masih sanggup untuk membiayai sektor properti," kata Filianingsih.